Makalah Kebijakan-kebijakan dalam Pembelajaran Sains dan PPTNya


Makalah Kebijakan-kebijakan dalam Pembelajaran Sains diperuntuhkan kepada anda yang mencari referensi materti tentang kebijakan-kebijkan dalam pembelajarna sains. Pada artikel kali ini kami juga menyediakan link download untuk PPTnya.

KATA PENGANTAR                                                                                      i
DAFTAR ISI                                                                                                    ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang                                                                                       2
1.2.       Rumusan Masalah                                                                                  3
1.3.       Tujuan                                                                                                    4
BAB II PEMBAHASAN
2.1.       Membedah Kebijakan-kebijakan Pemerintah tentang
Pembelajaran Sains                                                                                5
2.2.       Menganalisis  kurikulum tentang Pembelajaran sains                            6
2.3         Landasan Penyempurnaan Kurikulum                                                   6      
2.3.1        Rasionalitas Pengembangan Kurikulum 2013                           8
2.3.2        Karakteristik Kurikulum 2013                                                   11
2.3.3        Tujuan Kurikulum 2013                                                             12
2.3.4        Struktur umum kurikulum 2013                                                 12
2.3.5        Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran IPA                       14
2.3.6        Model-model Pembelajaran Sains                                              19
2.3.7        Pendidikan karakter dalam Pembelajaran Sains                        23                            
BAB III PENUTUP
3.1.       Kesimpulan                                                                                            25
3.2.       Saran                                                                                                      26
DAFTAR PUSTAKA                                                                                       27




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Pembelajaran sains memiliki peran sangat strategis dalam upaya membantu generasi muda menumbuhkan kesadarannya tentang alam tempat mereka tinggal. Kesadaran tentang alam ini, khususnya berkenaan dengan upaya pelestarian serta pemberdayaannya secara positif, sangat penting bagi seluruh generasi muda karena merekalah yang memikul tanggung jawab terhadap pelestarian alam tersebut di masa yang akan datang (Tytler, 2010; Lamanauskas, 2009). Hal ini dapat dipahami, sebab alam merupakan ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan, sehingga isu pelestarian serta pemberdayaannya secara positif harus menjadi sikap kultural dari seluruh anggota masyarakat.
 Tanpa kesadaran kolektif, maka nasib generasi mendatang tentu akan berada pada kesulitan yang mendasar paling tidak berkenaan dengan tiga jenis krisis yaitu krisis energi, krisis pangan dan papan, serta krisis lingkungan hidup. Pertama, berkenaan dengan krisis energi. Sebagaimana kita maklumi, bahwa energi yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan seperti tenaga listrik dan bahan bakar semuanya berasal dari alam yang keadaannya sangat terbatas. Sebagai contoh, bahan bakar minyak yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan dan mesin-mesin industri sebagian besar berasal dari bahan fosil yang sudah tersedia di alam sebagai akibat proses alam jutaan tahun yang lalu. Karena sifatnya terbatas, maka suatu saat tentu fosil tersebut ada habisnya, sehingga saat itu, manusia baru akan menyadari tentang kesulitannya. Negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Negara-negara di Eropa menjadikan isu ini sebagai bagian penting dari kurikulum sehingga anak memiliki kesadaran tentang pentingnya penghematan energi, penggunaan energi alternatif, bahkan pencarian sumber energi alternatif. 
Dalam Pedoman Pengembangan Kurikulum 2013 disebutkan bahwa pembelajaran IPA di tingkat SMP dilaksanakan dengan berbasis keterpaduan. Pembelajaran IPA di SMP  dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan  pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial. Integrative science mempunyai makna memadukan berbagai aspek yaitu domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Secara substansi, IPA dapat digunakan sebagai tools atau alat untuk mengembangkan domain sikap, pengetahan dan keterampilan.
Guru IPA juga harus mempunyai kemampuan interdisipliner IPA ditunjukkan dalam keilmuan (pengetahuan) IPA dan juga hubungannya dengan lingkungan, teknologi dan bidang lainnya. NSTA (2003: 8) dalam Insih Wilujeng (2010: 353), juga merekomendasikan  agar guru-guru IPA sekolah Dasar dan Menengah harus memiliki kemampuan interdisipliner IPA. Hal ini yang mendasari perlunya guru IPA memiliki kompetensi dalam membelajarkan IPA secara terpadu (terintegrasi), meliputi integrasi dalam bidang IPA, integrasi dengan bidang lain dan integrasi dengan pencapaian sikap, proses ilmiah dan keterampilan.  Hakikat IPA yang cukup penting adalah dimensi proses ilmiah (metode ilmiah). Intinya bahwa siswa dalam belajar IPA bukan belajar hafalan konsep tetapi belajar menemukan melalui proses sains.
Dengan melakukan hands on activity dan minds on activity berbasis proses sains, siswa dapat memahami, mengalami dan menemukan jawaban dari persoalan dari yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan literasi sains atau melek sains terhadap berbagai persoalan, gejala dan fenomena sains serta aplikasinya dalam teknologi dan masyarakat.  Hal ini sesuai bahwa dalam kurikulum 2013, pembelajaran IPA dikembangkan dengan berbasis scientific yang lebih menekankan aspek proses ilmiah. Hal ini tentunya menuntut kemampuan guru untuk membelajarkan IPA berbasis scientific.




1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah:
1.      Bagaimana membedah kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pembelajaran sains
2.      Bagaimana  Analisis kurikulum tentang pembelajaran sains
1.3        Tujuan
1.                     Untuk membedah kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pembelajaran sains
2.                     Untuk  Menganalisis kurikulum tentang pembelajaran sains

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Membedah Kebijakan-kebijakan Pemerintah  tentang Pembelajaran sains
A
Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Makna manusia yang berkualitas, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan karakter.
Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang jaman.
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa kurikulum, yang dikembangkan dengan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi merupakan salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.2 Menganalisis Kurikulum tentang Pembelajaran Sains
Kurikulum ini adalah pengembangan dari kurikulum yang telah ada sebelumnya, baik Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 maupun Kurikt Satuan Pendidikan pada tahun 2006. Hanya saja yang menjadi titik tekan pada kurikulum 2013 ini adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahun. Kemudian, kedudukan kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran yang dikembangkan dari kompetensi.
2.3 Landasan Penyempurnaan Kurikulum

1.      Landasan Yuridis

Secara konseptual, kurikulum adalah suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.


2.    Landasan Filosofis
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan  fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan  kehidupan bangsa di masa mendatang.Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan  budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri. 
Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar  untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.

3.    Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005).
Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK. Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal dimana  kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB). 

2.3.1  Rasionalitas Pengembangan Kurikulum 2013
Sebagaimana disebutkan di dalam Permendikbud Nomor 67 tahun 2013 tentang kerangka Dasar dan struktur kurikulum sekolah dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyyah, No 69 tahun 2013 tentang dasar dan struktur kurikulum menengah ke atas atau madrasah aliyyah, dan Nomor 70 tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah dan kejuruan atau madrasah aliyyah kejuruan bahwa faktor- faktor yang digunakan dalam pengembangan kurikulunm 2013 adalah :
1.        Tantangan Internal
Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu pada 8 standar Nasional Pendidikan yang meliputi  standar isi, standar proses, standar kompetensi kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan standar prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan.
Tantangan internal lainya terkait dengan perkembangan pendidik Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia  produktif (15-64 tahun) lebih banyak usia yang tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini di perkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2020 -2035 pada saat angkanya mencapai 70% .oleh sebab itu tantangan besar yang di hadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumber daya manusia usia produktif yang melimpa ini dapat di transformasikan menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan ketrampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.

2.    Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industry kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional . arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industry dan perdagangan modern seperti terdapat terlihat di world trade Organization (WTO), Association of southeast Asian Nations (ASEAN). Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh  dan imbas teknosains ,serta mutu, investasi, dan tranformasi bidang pendidikan. keikutsertaan Indonesia didalam study internasional Trends in internasional  Mathematics and science study (TIMSS) dan progam for internasional student assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak- anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan  TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.
3.    Penyempurnaan Pola Pikir
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola piker sebagai berikut :
1)   Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peseta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang di pelajari untuk memiliki kompetensi yang sama .
2)   Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru – pesrta didik-masyarakat-lingkungan alam,sumber atau media lainya .
3)   Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembeljaran secara jejaring (peseta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat di hubungi serta di peroleh melalui internet)
4)   Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (Pembelajaran system aktif mencari semakin di perkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains)
5)   Pola belajar  sendiri menjadi belajar kelompok(berbasis  tim).
6)   Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia.
7)   Pola pembelajaran berbasis masal  menjadi kebutuhan pelanggan (user) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki peserta didik.
8)   Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monosdiscpline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak atau (multi discipline)
9)   Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.
4.    Penguatan Tata Kelola Kurikulum
Dalam kurikulum2013 dilakukan penguatan tata kelola sebagai berikut :
1)   Tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi tata kerja yang bersifat kolaboratif
2)   Penguatan manajemen sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan
3)   Penguatan sarana dan prsarana untuk kepentingan manajemen dan proses pembelajaran.
5.    Penguatan Materi
Penguatan materi dilakukan dengan cara pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta didik.  


            
2.3. 2 Karakteristik Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut:
1.    Mengembangkan keseimbangan anatara pengembangan sikap spiritual dan social, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik.
2.    Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari disekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagi sumber belajar.
3.    Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi disekolah dan masyarakat.
4.    Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
5.    Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar pelajaran.
6.    Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyakan dalam kompetensi inti.
7.    Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertical).

2.3. 3 Tujuan Kurikulm 2013
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

2.3. 4 Struktur Umum Kurikulum 2013
Struktur kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran, beban belajar, dan kalender pendidikan. Mata pelajaran terdiri atas:
·      Mata pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan pendidikan pada setiap satuan atau jenjang pendidikan
·      Mata  pelajaran pilihan yang diikuti oleh peserta didik sesuai dengan pilihan mereka.
Kedua kelompok mata pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan dalam struktur kurikulum pendidikan menengah (SMA dan SMK) sementara itu mengingat usia dan perkembangan psikologis peserta didik usia 7 – 15 tahun maka mata pelajaran pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP.
Beban belajar dinyatakan dalam jam belajar setiap minggu untuk masa belajar selama satu semester. Beban belajar di SD Tahun I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34 sedangkan untuk Tahun IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar SD adalah 40 menit.
Koballa dan Chiappetta (2010: 105), mendefinisikan IPA sebagai a way of thinking, a way of investigating, a body of knowledge, dan interaksinya dengan teknologi dan masyarakat. Dapat disarikan bahwa dalam IPA terdapat dimensi cara berpikir,cara investigasi,bangunan ilmu dan kaitannya dengan teknologi dan masyarakat. Hal ini menjadi substansi yang mendasar pentingnya pembelajaran IPA yang mengembangkan proses ilmiahnya untuk pembentukan pola pikir peserta didik. Menurut Sund & Trowbridge (1973: 2), kata science sebagai  “both a body of knowledge and a process”. Sains diartikan sebagai bangunan ilmu pengetahuan dan proses. IPA mempunyai objek dan persoalan yang holistik sehingga IPA perlu disajikan secara holistik. Menurut Hewitt, Paul G and etc (2007: xvi),  sains terintegrasi menyajikan aspek fisika, kimia, biologi, ilmu bumi, astronomi dan aspek lainnya dari Ilmu Pengetahuan Alam.
Dalam bukunya Conceptual Integrated Science, IPA  terintegrasi disajikan berbasis pendekatan kontekstual yaitu menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari, bersifat personal dan langsung, menempatkan salah satu ide pokok, mengandung pemecahan masalah. Dalam penyajiannya, IPA disajikan dengan kesatuan konsep.  Menurut Trefil, James & Hazen Robert (2007: xii), pendekatan terintegrasi (An integrated approach) melibatkan proses ilmiah, mengorganisasikan prinsip, mengorganisasikan integrasi alam dari pengetahuan  ilmiah dan aplikasinya dalam kehidupan seharihari. Disamping itu, dalam an integrated approach ini juga siswa diharapkan  mampu  mengkaitkan dalam bidang lain meliputi fisika, astronomi, kimia, geologi, biologi, teknologi, lingkungan, dan kesehatan keselamatan.
2.3.5.1           Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran IPA
 Pembelajaran IPA pada kurikulum 2013 disusun dengan memperhatikan keterampilan proses IPA yang meliputi keterampilan proses dasar (basic science process skill) dan keterampilan proses lanjut (integrated science process skill). Keterampilan proses dasar meliputi mengukur (measure), observasi (observing), inferensi (inferring), prediksi (predicting), klasifikasi (classifying), dan komunikasi (communicating). Keterampilan proses sains lanjut meliputi pengontrolan variabel, interpretasi data, perumusan hipotesis, pendefinisian variabel operasional, merancang eksperimen, melakukan eksperimen.  Dalam implementasi Kurikulum 2013, kegiatan pembelajaran IPA dikembangkan dengan pendekatan scientific (observing, measuring, questioning, experiment, communicating) dan keterampilan proses sains lainnya. Kegiatan yang berbasis scientific inilah yang harus dimunculkan baik ketika menyusun RPP, LKPD maupun ketika pelaksanaan pembelajaran IPA. Dalam Kurikulum 2013, sebagian besar rumusan Kompetensi Dasar sudah terpadu (terintegrasi).
Mengacu pada KD yang sudah terpadu tersebut, (silabus, RPP dan LKPD) diarahkan untuk dirancang berbasis keterpaduan. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud  meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran. A process skill approach stresses the development of investigative skills are often assosiated with scientific inquiry (Chiapetta & Koballa, 2010: 131). Pendekatan keterampilan proses sebagai pendekatan yang menekankan pengembangan keterampilan penyelidikan yang berupa kemampuan metode ilmiah (scientific methods). Pembelajaran IPA pada kurikulum 2013 menekankan pada aspek keterampilan proses. Keterampilan proses IPA diklasifikasikan menjadi keterampilan proses dasar dan keterampilan proses terpadu
 Tabel 1. Keterampilan Proses Dasar dan Keterampilan Proses Lanjut

Keterampilan Proses Dasar
(basic science process skill)
Keterampilan Proses Lanjut
(integrated science process skill)
Observasi
Pengontrolan data
Mengukur
Interpretasi data
Inferensi
Perumusan hipotesis
Prediksi
Pendefinisian variable secara operasional
Klasifikasi
Merancang eksperimen
Komunikasi
Melakukan eksperimen









 (Chiapetta & Koballa, 2010: 132). Keterampilan proses di atas merupakan dasar dikembangkannya pendekatan scientific pada kurikulum 2013. Scientific pada kurikulum 2013 sering dinamakan munculnya 5M (mengamati, mengukur, mencoba, mengasosiasi, mengkomunikasikan). Sains (IPA) didefinisikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Sains juga didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya. Hakikat sains meliputi empat unsur utama. (1) Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; sains bersifat open ended. (2) Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. (3) Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. (4) Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Keempat unsur itu merupakan ciri sains yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pembelajaran sains memiliki peran strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita tidak dapat lepas dari pengaruh perkembangan dan produk sains berupa teknologi yang semakin luar biasa. Dunia yang kita diami ini, akan senantiasa terus dipenuhi dengan produk sains yang membuat setiap orang membutuhkan pengetahuan dan cara berpikir ilmiah tentang sains.
Dengan demikian, sains yang sarat akan kegiatan berpikir dapat menjadi wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, terutama untuk membangun keterampilan berpikirnya. Pembentukan keterampilan ini sangat menentukan dalam membangun kepribadian dan pola tindakan insan Indonesia, oleh karena itu modus pemberdayaan pembelajaran sains harus dikembangkan pada pembekalan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pendidikan sains juga dapat membantu seseorang untuk mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir, sehingga mereka memiliki sejumlah kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Terdapat tiga kemampuan yang dikembangkan dalam sains yaitu: (1) kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, (2) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum diamati, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (3) dikembangkannya sikap ilmiah. Kegiatan pembelajaran sains mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah. Melalui metode ilmiah, dapat dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap dan nilai tersebut terkandung dalam pendidikan karakter.
2.3. 6  Model-model Pembelajaran Sains
1.      Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Kauchak dan Eggen (1993), belajar kooperatif merupakan suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan untuk membantu siswa satu dengan siswa yang lain dalam mempelajari sesuatu. Slavin (2000) dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerjasama dalam kelompok kecil, mereka saling membantu untuk mempelajari suatu materi.
 Hal yang serupa diungkapkan oleh Thompson dan Smith (Ratumanan, 2000), yaitu dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mempelajari materi akademik dan keterampilan antar pribadi. Anggota-anggota kelompok bertanggungjawab atas ketuntasan tugas-tugas kelompok dan untuk mempelajari materi itu sendiri. Dalam pembelajaran kooperatif kelas disusun atas kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 4 siswa dengan kemampuan berbeda-beda, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Jika kondisi memungkinkan,dalam pembentukan kelompok hendaknya diperhatikan juga perbedaan suku, budaya, dan jenis kelamin. Siswa tetap berada dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Aktivitas siswa antara lain mengikuti penjelasan guru secara aktif, bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas dalam kelompok, memberikan penjelasan kepada teman sekelompoknya, mendorong kelompok untuk berpartisipasi secara aktif, berdiskusi, dan sebagainya. Agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan guru dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar.
 Dalam pembelajaran kooperatif penghargaan diberikan kepada kelompok. Pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecenderungan siswa untuk berinteraksi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain diantara sesama siswa daripada belajar dari guru. Penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang sangat positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya. Manfaat pembelajaran kooperatif untuk siswa dengan hasil belajar rendah menurut Lundgren (1994) antara lain: (a) dapat meningkatkan motivasi, (b) meningkatkan hasil belajar, (c) meningkatan retensi atau penyimpanan materi pelajaran yang lebih lama.
2.      Model pengajaran Langsung
Model direct instruction merupakan suatu pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Pendekatan mengajar ini sering disebut Model Pengajaran Langsung (Kardi dan Nur, 2000). Arends (2001) juga mengatakan hal yang sama, yaitu “A teaching model that is aimed at helping students learn basic skills and knowlegde that can be taught in a step-by-step fashion. For our purposes here, the model is labeled the direct instruction model.” Sedangkan Kardi (2001) mendefinisikan “Model Pembelajaran Langsung (MPL) adalah suatu strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengajarkan konsep dan keterampilan.”
Apabila guru menggunakan model pembelajaran langsung ini, guru mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasikan tujuan pembelajaran dan tanggung jawab yang besar terhadap penstrukturan isi/materi atau keterampilan, menjelaskannya kepada siswa, pemodelan/ mendemonstrasikan yang dikombinasikan dengan latihan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menerapkan konsep atau keterampilan yang telah dipelajari serta memberikan umpan balik. Model pengajaran langsung ini dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik, yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (2001), yang menyatakan bahwa “The direct instruction model was specifically designed to promote student learning of procedural knowledge and declarative knowledge that is well structured and can be taught in a stepby-step fashion.” Sedangkan Carin (1993) berpendapat bahwa direct instruction secara sistematis menuntun dan membantu siswa untuk melihat hasil belajar dari masing-masing tahap demi tahap. Direct instruction adalah model pengajaran yang berpusat pada guru dan memiliki sintaks yang terdiri dari lima fase, yaitu: mempersiapkan siswa, menjelaskan dan/atau mendemonstrasikan, menuntun berlatih, memberikan umpan balik dan memperluas latihan. Berikut rangkuman kelima fase tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.  Sintaks Model Pengajaran Langsung
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase-1 Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), guru menginformasikan latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar dengan cara mengkaitkan pelajaran sekarang dengan yang terdahulu
Fase-2 Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap
Fase-3 Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal
Fase-4 Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mencek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik
Fase-5 Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari

Sumber: Arends, R. I. (2001). Learning to Teach. New York: McGrawHill.


3.      Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction/PBI) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. Arends (2001), pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pembelajaran dimana siswa menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiry dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti Pembelajaran berdasarkan proyek (Project-based instruction), Pembelajaran berdasarkan pengalaman (Experience-based instruction), belajar otentik (Authentic learning), dan pembalajaran bermakna (Anchored instruction). Pembelajaran ini, guru berperan untuk mengajukan permasalahan atau pertanyaan, memberikan dorongan, motivasi, menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang diperlukan. Selain itu, guru memberikan scaffolding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan kemampuan inquiry dan perkembangan intelektual siswa. Arends (2001), mengemukakan 5 langkah utama dalam penggunaan PBI. Langkahlangkah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5. Sintaks Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase-1 Orientasi Siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
Fase-2 Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorgani-sasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Fase-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Fase-4 Mengembangkan dan manyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Fase-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Sumber: Arends, R. I. (2001). Learning to Teach. New York: McGrawHill.

2.3. 7  Pendidikan karakter dalam pembelajaran sains

Terdapat opini umum bahwa internalisasi nilai-nilai  untuk membangun moral, karakter, dan akhlak hanya bisa ditempuh melalui pendidikan agama dan kewarganegaraan sehingga pendidikan agama dan kewarganegaraan dianggap penting dan harus diajarkan.  Anggapan itu tidak salah sebab agama dan kewarganegaraan selalu mengajarkan tentang bagaimana peserta didik atau peserta didik memiliki moral, karakter, dan akhlak yang luhur. Bila kita lihat kembali, sebelumnya telah dijelaskan bahwa setiap mata pelajaran menuntut kompetensi yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan kehidupan.  Pembelajaran sains dapat dijadikan sebagai pendekatan untuk membangun moral, karakter dan akhlak mulia.
Melalui pendidikan sains peserta didik akan mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya. Hasil penelitian Zuchdi dkk. (2010) menunjukkan bahwa model pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif, yang dipadukan dengan pembelajaran bidang studi dan dilandasi pengembangan kultur sekolah, dapat meningkatkan hasil studi dan kualitas karakter peserta didik. Pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi dapat memberikan pengalaman yang bermakna bagi murid-murid karena mereka memahami, menginternalisasi, dan mengaktualisasikan melalui poses pembelajaran.
Terdapat dua karakter yang dapat dikembangkan yaitu, a) karakter sosial, yang lebih cenderung dikembangkan melalui pendidikan sosial dan b) karakter sains yang lebih banyak dikembangkan melalui pendidikan sains. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada pendidikan sains juga dapat dapat menyentuh dan mengembangkan karakter sosial, demikian pula sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran sains dengan karakteristik didalamnya bila diterapkan dengan benar dapat menyentuh berbagai ”nilai” yang diperlukan dalam pembentukan karakter peserta didik.
 Pentingnya sains, bagi pengembangan karakter warga masyarakat dan negara telah menjadi perhatian para pengembang pendidikan sains di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat dan negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui PISA. Sains diyakini berperan penting dalam pengembangan karakter warga masyarakat dan negara karena kemajuan produk sains yang amat pesat, keampuhan proses sains yang dapat ditransfer pada berbagai bidang lain, dan kekentalan muatan nilai, sikap, dan moral di dalam sains. Zuchdi dkk. (2010) menjelaskan, sejak tahun 1989, Allan J. MacCormack dan Robert E. Yager mengembangkan lima ranah dalam taksonomi untuk pendidikan sains. Kelima ranah tersebut seperti berikut. Pertama, knowing and understanding (knowledge domain), termasuk: fakta, konsep, hukum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis dan teori yang digunakan para saintis, dan masalah- masalah sains dan sosial. Kedua, exploring and discovering (process of science domain), yakni penggunaan beberapa proses sains untuk belajar bagaimana para saintis berpikir dan bekerja. Ketiga, imagining and creating (creativity domain). Terdapat beberapa kemampuan penting manusia dalam domain ini, yaitu mengkombinasikan beberapa objek dan ide melalui cara-cara baru; menghasilkan alternative atau menggunakan objek yang tidak biasa digunakan; mengimajinasikan; memimpikan; dan menghasilkan ide-ide yang luar biasa. Keempat, feeling and valuing (attitudinal domain).
Ranah ini mencakup: pengembangan sikap positif terhadap sains secara umum, sains di sekolah, dan para guru sains; pengembangan sikap positip terhadap diri sendiri, misalnya ungkapan yang mencerminkan rasa percaya diri ”I can do it!”; pengembangan kepekaan, dan penghargaan, terhadap perasaan orang lain; dan pengambilan keputusan tentang masalah-masalah sosial dan lingkungan. Kelima, using and applying (application and connection domain). Beberapa hal yang termasuk ranah penerapan adalah: mengamati contoh konsepkonsep sains dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains yang telah dipelajari untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari; mengambil keputusan untuk diri sendiri yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan gaya hidup berdasarkan pengetahuan sains daripada berdasarkan apa yang ”didengar” dan yang ”dikatakan” atau emosi; serta memadukan sains dengan subjek-subjek lain.
Melalui pembelajaran sains dengan berbagai karakteristik sains, semua nilainilai yang diharapkan muncul sebagai hasil akhir pendidikan dan pembelajaran sains diharapkan dapat muncul. Nilai tersebut menjadi timpang bila tidak diimbangi dengan penanaman konsep secara utuh. Sebaliknya pemahaman konsep yang utuh dan menyeluruh tanpa disentuhkan dengan nilai akan mengakibatkan berbagai ketimpangan moral. Misalnya, melalui pembelajaran sains yang melalui proses pembelajaran bukan hanya memberikan suatu konsep pada peserta didik, tetapi dapat dimunculkan nilai cinta Tuhan dan kebenaran, di mana dalam pembelajaran ini peserta didik disentuhkan dan dimunculkan kesadaran segala sesuatu yang Tuhan ciptakan mempunyai makna, memiliki arti,
Pada pembelajaran sains peserta didik telah terbiasa dan dibiasakan melakukan segala sesuatu menggunakan metode ilmiah, dilandasi oleh sikap ilmiah terlebih bila pembelajaran yang dilakukan telah benar-benar merupakan pendidikan yang terpadu. Melalui metode ilmiah dan menggunakan sikap ilmiah peserta didik telah ditanamkan berbagai nilai penting yang juga akan dibawa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Amat disayangkan bila kesempatan membentuk sikap ilmiah dan karakter ilmiah ini lepas dari kegiatan pembelajaran sains, dimana peserta didik hafal langkah urutan menggunakan metode ilmiah namun tidak dilandasi dengan sikap ilmiah. Pada saat menggunakan metode ilmiah, kita harus bersikap ilmiah seperti rendah hati, jujur, obyektif, menghargai waktu dan sebagainya. Ternyata contoh sikap ilmiah tersebut merupakan suatu karakter jika sudah menjadi kebiasaan seseorang.”



BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Makna manusia yang berkualitas, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan karakter.
Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang jaman.
Terdapat tiga kemampuan yang dikembangkan dalam sains yaitu: (1) kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, (2) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum diamati, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (3) dikembangkannya sikap ilmiah
Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Terdapat dua karakter yang dapat dikembangkan yaitu, a) karakter sosial, yang lebih cenderung dikembangkan melalui pendidikan sosial dan b) karakter sains yang lebih banyak dikembangkan melalui pendidikan sains.

3.2.       Saran
Para pendidik hendaknya melaksanakan dengan baik kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan/Pendidikan Dasar fakultas Ilmu Pendidikan. Disampaikan dalam sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang, 8 Juni.
Jalal, F. 2011. Akhlak dan Pembangunan Pendidikan Karakter. Milad JSIT, Februari.
Kemdiknas. 2011. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi dalam Konteks Pengembangan Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter. Sosialisasi Pendidikan Karakter, Medan 27-28 Mei 2011.
Pakpahan, S.P. 2010. Upaya Mencari Bentuk Pendidikan Dalam Membangun Karakter Bangsa. Disampaikan Pada Temu Ilmiah Nasional Guru II 2010 . Jakarta, 24-25 November 2010
Pessireron M. F. 2010. Pendidikan Karakter Membentuk Peradaban Bangsa. Kemdiknas.
Zuchdi, D., Prasetya, Z.K. dan Masruri, M.S. 2010. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.

Kemudian untuk PPTnya terdiri dari 14 SLide yang disusun berdasarkan materi. berikut tampilan slide-slidenya.



Artikel Terkait


EmoticonEmoticon