Makalah Pembelajaran pada abad 21 ini kami ambil dari beberapa refeerensi jurnal yang membahas mengenai pembelajaran pada abat 21. untuk anda yang membutuhkan refrensi materi ataupun makalah utuh utnuk keperluan presentasi tugas dan sebagainya silahkan di download. bersama dengan makalh ini kami beriakan pula PPT untuk keperluan presentasi. PPtnya sudah jadi bisa langsung digunakan ataupun bisa juga di edit menyesuaikan keperluan anda.
KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah تعلى.
Segala pujian, permohonan
pertolongan, petunjuk dan pengamampunan hanyalah tertuju pada-Nya. Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya.
Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk. Aku bersaksi tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah تعلى semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi Muhammad ﷺ adalah hamba dan
utusan-Nya.
Alhamdulillah, atas kuasa dan izin Allah تعلى
, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pembelajaran
Abad 21” untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Inovasi Pendidikan Sains.
Segala bantuan,
dukungan, dan bimbingan yang telah diberikan tidak dapat dibalas semunya oleh
penulis. Hanya-lah do’a yang dapat dipanjatkan kepada Sang Rabbi, semoga segala
kebaikkan tersebut dibalas oleh Allah تعلى dengan balasan
yang terbaik.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah تعلى
semoga makalah ini dapat menjadi amal
sholeh dan menjadi bekal untuk dapat mengantarkan kita semua ke jannah
Firdaus-Nya., أمين.
Palu, Desember 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Empat
Pilar UNESCO dalam Dunia Pendidikan 6
2.2 Implementasi Empat Pilar UNESCO dalam Dunia Pendidikan 15
2.3 Model Pembelajaran yang Didasari Oleh Empat Pilar UNESCO
yang Dipandang Efektif Meningkatkatkan
Hasil Belajar Siswa 23
2.4 Tuntutan Pembelajaran Abad 21 25
2.5 Inovasi Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 27
2.6 Perkembangan Pendidikan di Negeri Tetangga 29
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 39
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya
hidup manusia, baik dalam bekerja, bersosialisasi, bermain maupun belajar.
Memasuki abad 21 kemajuan teknologi tersebut telah memasuki berbagai sendi
kehidupan, tidak terkecuali dibidang pendidikan. Guru dan siswa, dosen dan
mahasiswa, pendidik dan peserta didik dituntut memiliki kemampuan belajar
mengajar di abad 21 ini. Sejumlah tantangan dan peluang harus dihadapi siswa
dan guru agar dapat bertahan dalam abad pengetahuan di era informasi ini.
Abad 21 merupakan abad pengetahuan, abad dimana informasi banyak
tersebar dan teknologi berkembang. Karakteristik abad 21 ditandai dengan
semakin bertautnya dunia ilmu pengetahuan, sehingga sinergi diantaranya menjadi
semakin cepat. Dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di
dunia pendidikan, telah terbukti dengan semakin menyempit dan meleburnya faktor
“ruang dan waktu” yang selama ini menjadi aspek penentu kecepatan dan
keberhasilan ilmu pengetahuan oleh umat manusia (BSNP, 2010). Abad 21 juga
ditandai dengan banyaknya (1) informasi yang tersedia dimana saja dan dapat
diakses kapan saja; (2) komputasi yang semakin cepat; (3) otomasi yang
menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan (4) komunikasi yang dapat dilakukan
dari mana saja dan kemana saja (Litbang Kemdikbud, 2013).
Pendidikan Nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita
bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan
kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global,
melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk
mewujudkan cita-cita bangsanya (BSNP, 2010).
Ciri menonjol Abad-21salah satunya adalah semakin bertautnya dunia ilmu dan teknologi, sehingga
sinergi di antaranya menjadi
semakin cepat. Terkait
dengan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi (Information and
Communication
Technology / ICT) di dunia pendidikan, telah mengakibatkan semakin
meleburnya dimensi “ruang dan waktu” yang selama ini
menjadi faktor penentu
kecepatan dan keberhasilan penguasaan
manusia terhadap ilmu
dan teknologi. Di
Abad-21 ini kita ditantang untuk mampu
menciptakan tata- pendidikan yang dapat ikut menghasilkan
sumber
daya pemikir yang
mampu ikut membangun
tatanan sosial dan ekonomi sadar-pengetahuan sebagaimana layaknya warga
dunia di Abad-21. Tentu saja dalam memandang ke depan
dan merancang langkah kita tidak boleh
sama sekali berpaling dari kenyatan yang mengikat kita dengan realita
kehidupan. (BSNP, 2010: 22)Berbagai upaya dalam rangka
peningkatan mutu pendidikanpun senantiasa
dilakukan, disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi, serta
era yang terjadi. Dalam konteks Pendidikan di Abad-21 ini ada pihak-pihak yang
menyikapinya sebagai sebuah
peluang,
namun ada juga yang memandangnya sebagai tantangan atau hambatan, atau cara-cara
lain
dalam menyikapinya,
tergantung dari kemampuan
serta cara pandang masing-masing.
Abad ke-21 disebut sebagai abad pengetahuan, abad ekonomi berbasis
pengetahuan, abad teknologi informasi, globalisasi, revolusi industry 4.0. Pada
abad ini, terjadi perubahan yang sangat cepat dan sulit diperdiksi dalam segala
aspek kehidupan meliputi bidang ekonomi, transportasi, teknologi, komunikasi, dan
informasi. Perubahan yang berlangsung sangat cepat ini dapat memberikan pelung
jika dimanfaatkan dengan baik, tetapi juga dapat menjadi bencana jika tidak
diantipasi secara sistematis, terstruktur, dan terukur. Salah satu contoh dari
perubahan yang sangat cepat ini adalah dalam bidang teknologi informasi,
khususnya media social.
Perubahan kondisi, social, ekonomi, politik dan budaya, meningkatnya
pergerakan migrasi manusia, proges globalisasi, digital-based information
dan teknologi komunikasi, knowledge-based economy dan sebagainya
memasuki abad ke-21 mengindikasikan tantangan kehidupan manusia semakin tinggi
dan kompleks.
P21 (Partnership for 21st Century
Learning) mengembangkan framework pembelajaran
di abad 21 yang menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan, pengetahuan
dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan
pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir (P21, 2015). Framework ini juga menjelaskan tentang
keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai agar siswa dapat
sukses dalam kehidupan dan pekerjaanya.
Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk SDM yang
berkualitas. Peningkatan SDM perlu ditangani oleh sistem pendidikan yang baik,
pengelola yang profesional, tenaga guru yang bermutu, sarana belajar dan
anggaran pendidikan yang cukup. Pendidikan memiliki spektrum masa depan yang
luas dan seimbang
sehingga harapan masyarakat
terhadap pendidikan terpenuhi, dan manusia Indonesia seutuhnya dapat
diwujudkan. Pendidikan harus dibawa dalam rangka mengoptimalkan kemampuan
peserta didik untuk memiliki sifat kreatif, kritis dan tanggap terhadap masalah
kehidupan.
Untuk itu UNESCO (The International Commission on Education for
the Twenty-first Century) memandang penting adanya perubahan paradigm
pendidikan sebagai instrument ke paradigm sebagai pengembangan manusia
seutuhnya (all-rounded human beings). Berdasarkan hal tersebut empat
pilar pendidikan UNESCO meliputi belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk
melakukan pembelajaran selanjutnya (learning to know), belajar untuk
memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan sitasi dan tim kerja yang
berbeda-beda (learning to do), belajar untuk mengaktualisasikan diri
sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab pribadi (learning
to be), dan belajar untuk mampu mengapresiasikan dan mengamalkan kondisi
saling ketergantungan, keanekaragaman, memahami dan perdamaian intern antar
bangsa (learning to live togather).
Oleh sebab itu
pembelajaran menggunakan pendekatan empat pilar Pendidikan UNESCO, murid akan
termotivasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman,
dan keterampilan berpikir
yang logis dan sistematis, sehingga suasana proses
belajar mengajar menjadi kondusif, komunikatif dan tercipta hubungan harmonis
antara guru dan peserta didik.
Selain itu pula,
siswa akan belajar untuk mengetahui dan
memunculkan pengetahuan yang ada pada siswa, belajar untuk berbuat dan
memunculkan kreasi siswa yaitu berupa praktek, belajar untuk menjadi diri sendiri
dan menjadikan siswa mempunyai bakat dan minat, dan belajar untuk hidup bersama
membiasakan saling menghargai, terbuka serta memahami perbedaaan satu sama
lain.
Dengan demikian,
maka pendidikan akan menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan,
memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
pada makalah ini sebagai berikut.
1.
Bagaimana
kedudukan empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan?
2.
Bagaimana
implementasi empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan?
3.
Apa
model pembelajaran yang didasari oleh empat pilar UNESCO yang dipandang efektif
meningkatkatkan hasil belajar siswa?
4.
Apa
saja tuntutan pembelajaran abad 21?
5.
Bagaiamana
inovasi pendidikan era revolusi industri 4.0?
6.
Bagaimana
perkembangan pendidikan di negeri tetangga?
1.3
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.
Menjabarkan
kedudukan empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan Indonesia
2.
Menerangkan
implementasi empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan Indonesia
3.
Menganalisis
model pemebelajaran yang didasari oleh empat pilar UNESCO yang dipandang efektif
meningkatkan hasil belajar siswa
4.
Menerangkan
tuntutan pembelajaran abad 21
5.
Menjabarkan
invoasi pendidikan era revolusi industry 4.0
6.
Menerangkan
perkembangkan pendidikan di negeri tetangga
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Empat Pilar UNESCO
Pendidikan merupakan sarana
yang sangat strategis
dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses
pendidikan tidak hanya
memberikan pengetahuan dan
pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku
dan kepribadian peserta didik. Hal
ini dikarenakan perkembangan
komunikasi, informasi (baik melalui
media cetak maupun
elektronik) tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Pendidikan diarahkan
pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan
humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu
peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi
(bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Untuk mewujudkan pencapaian tersebut,
maka pengimplementasian
pendidikan harus didasarkan pada empat pilar pendidikan UNESCO yang
memiliki prinsip learning to know,
learning to do, learning to live together dan learning to be.
a)
Learning to know
Learning to know adalah bagian
dari proses pembelajaran
yang memungkinkan pelajar/mahasiswa- nya untuk tidak sekedar memperoleh
pengetahuan tapi juga menguasai
teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar
ini berpotensi besar untuk
mencetak generasi muda
yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi.
Learning to know atau learning to
learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya
tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar,
akan tetapi juga
harus berorientasi kepada
proses belajar. Dengan proses
belajar, siswa bukan
hanya sadar akan
apa yang harus dipelajari, akan tetapi juga memiliki
kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari itu.
Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai teknik
memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar untuk mencetak
generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara implisit, learning
to know bermakna belajar sepanjang
hayat (Life long education). Asas
belajar sepanjang hayat
bertitik tolak atas
keyakinan bahwa proses pendidikan
dapat berlangsung selama
manusia hidup, baik didialam maupun di luar sekolah.
Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup, berlangsung seumur
hidup, maka peranan
subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar
merupakan kewajiban kodrati manusia. Dengan
kebijakan tanpa batas umur
dan batas waktu untuk belajar, maka
kita mendorong supaya tiap
pribadi sebagai subjek
yang bertanggung jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
1)
Proses dan
waktu pendidikan berlangsung seumur
hidup sejak dalam kandungan hingga manusia meninggal.
2)
Bahwa
untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu
dini untuk belajar.
3)
Belajar
/ mendidik diri sendiri
adalah proses alamiah
sebagai bagian integral/totalitas kehidupan
Guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki tugas
dan tanggung jawab membentuk karakter
generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas bangsa ini
terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan
yang terbaik untuk anak
negeri ini di
masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan
yang sangat penting dalam
menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya.
Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara
saksama dalam meningkatkan
kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas mengajarnya.
Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, penggunaan
metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru
dalam mengelola proses belajar-mengajar.
Guru bisa dikatakan
unggul dan profesional
bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan
tidak banyak bergantung pada orang lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan
makna bahwa pendidik harus
mampu berperan sebagai berikut:
a)
Guru
berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan
penting dengan penguasaan
materi pembelajaran.
Dikatakan guru yang baik
apabila ia dapat menguasai materi
pembelajaran dengan baik,
sehingga benar-benar berperan
sebagi sumber belajar
bagi anak didiknya.
b)
Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan
pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
c)
Guru
sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan
iklim blajar yang memungkinkan siswa
dapat belajar secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar
yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
Ø Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya
sendiri.
Ø Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
Ø Siswa akan belajar
lebih banyak, apabila
setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan
reinforcement.
Ø Penguasaan secara penuh.
Ø Siswa yang diberi tanggung jawab, maka
ia akan lebih
termotivasi untuk belajar.
d)
Guru
sebagai demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang
dapat membuat siswa lebih
mengerti dan memahami
setiap pesan yang disampaikan.
e)
Guru
sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari
adanya setiap perbedaan. Perbedaan inilah
yang menuntut guru harus berperan
sebagai pembimbing.
f)
Guru
sebagai mediator
Guru selain dituntut
untuk memiliki pengetahuan
tentang media pendidikan juga harus
memiliki keterampilan memilih
dan menggunakan media dengan baik.
g)
Guru
sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai
hasil pembelajaran siswa.
Dengan penilaian tersebut, guru dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap
pelajaran, serta ketepatan/
keefektifan metode mengajar
Learning to know dilakukan
dengan cara memadukan
penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan
untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Dan learning
to know ini mengandung prinsip berikut:
Ø Diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi
dan merespon sumber informasi baru
Ø Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran
Ø Network society
Ø Learning to learn dan life long education.
b. learning to do (belajar untuk
melakukan)
Sasaran dari pilar
ke dua ini adalah
kemampuan kerja generasi
muda. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu
dalam situasi yang konkrit
yang tidak terbatas pada penguasaan
keterampilan yang mekanistis
melainkan juga keterampil dalam
berkomunikasi, berkerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui
penerapan pilar kedua
ini, dimungkinkan mampu
mencetak generasi baru yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai
kemampuan untuk berinovasi.
Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi
lebih jauh untuk terampil berbuat/
mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan
kerja generasi muda
untuk mendukung dan
memasuki ekonomi industry.
Dalam masyarakat
industri tuntutan tidak lagi cukup
dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan
untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring,
designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam
situasi konkrit yang tidak hanya
terbatas pada penguasaan
ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil dalam
berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi
suatu konflik.
Learning to do akan bisa
berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi para peserta didik untuk
mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya.
Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh
berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat
digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan
daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan individu
kedepannya.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar
hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan
yang dimiliki, serta bakat
dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat
adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan
pada masa yang akan datang. Sedangkan
minat adalah kecendrungan
dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun
tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan .
Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:
1) Lingkungan social adalah masyarakat
dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa
tersebut. Lingkungan social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar
ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
2) Lingkungan nonsosial, faktor-faktor yang
termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-faktor ini
dipandang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa. Sekolah juga
berperan penting dalam
menyadarkan peserta didik
bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik
mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah
agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta
didik terlatih untuk memecahkan masalah.
Learning to do yaitu proses
pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar
dengan melakukan sesuatu yang bermakna “Active Learning”. Peserta didik
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki
standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran
yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and
exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information
processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara
kreatif (creative problem solving skill). Menurut John Dewey bahwa
pembelajaran yang dapat dilakukan dengan:
1) Belajar
peserta didik dengan berpikir kreatif,
2) Keterampilan
proses,
3) Problem
solving approach,
4) Pendekatan
inkuiri,
5) Program
sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan
6) Bimbingan
sebagai bagian dari mengajar.
Beberapa bentuk Active Learning; kegiatan Active learning
dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang
akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan
pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada
kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance
organizer) yang mengarahkan
pada pembahasan materi
pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara
intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik
dituntut mampu merumuskan konsep baru yang disintesis dari materi yang telah dipelajari.
Learning to do mengandung
prinsip berikut:
Ø Menjembatani pengetahuan dan keterampilan
Ø Memadukan learning by doing dan doing by learning
Ø Mengkaitkan pembelajaran dengan kompetensi
Ø Mengkaitkan psikologi pembelajaran dengan sosiologi pembelajaran.
c. learning to live together (belajar bersama dengan orang lain)
Di zaman yang semakin
kompleks ini, berbagai
konflik makin merebak
seperti, konflik nasionalis, ras,
dan konflik antar agama.
Apapun penyebabnya, semua konflik itu didasari oleh ketidak
mampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima suatu
perbedaan. Itulah sebabnya,
Learning to live together
menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa perdamaian.
Kerjasama akan membangun motivasi para siswa, mereka dapat lebih
bergairah untuk belajar, karena
mereka dapat mengaktualisasi diri,
ketika motivasi itu berkembang dan motivasi
yang terbangun secara internal,
akan memberikan satu kekuatan
yang meningkatkan tujuan dari maksud pembelajaran tersebut.
d.
learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri)
Makna dari pilar ini adalah muara akhir dari tiga pilar belajar (Learning
to know, learning to do, learning to live together). Dengan pilar ini,
peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan
mandiri.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu
mencari informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan
tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan
toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan
menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep learning to be perlu
dihayati oleh praktisi
pendidikan untuk melatih siswa agar
memiliki rasa percaya
diri yang tinggi.
Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam
masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari
proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan
norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan
untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence)
yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam
masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus
“berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan
dengan orang lain. Menguak kekayaan tak ternilai dalam diri.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari
proses menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan
norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses
pencapain aktualisasi diri. Belajar menjadi seseorang, mengembangkan
kepribadian dan kemampuan untuk bertindak secara mandiri, kritis, penuh
pertimbangan serta bertanggung jawab. Dalam hal ini pendidikan tak bisa mengabaikan
satu aspek pun dari potensi seseorang seperti ingatan, akal sehat, estetika, kemampuan
fisik serta ketrampilan
berkomunikasi. Telah banyak diakui bahwa
sistem pendidikan formal saat ini cenderung untuk memberi tekanan pada
penguasaan ilmu pengetahuan
saja yang akhirnya
merusak bentuk belajar yang lain. Kini telah tiba saatnya untuk memikirkan
bentuk pendidikan secara menyeluruh, yang dapat menggiring terjadinya
perubahan- perubahan kebijakan pendidikan di masa akan datang, dalam kaitan
dengan isi maupun metode.
Jenis belajar ini mendidik peserta didik agar dapat berkembang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan tumbuh menjadi diri sendiri, diri
yang mandiri dan diri yang bermanfaat bagi lingkungannya; tujuannya agar
membentuk pribadi yang berkarater kuat tidak mudah goyah oleh arus pergaulan.
Di dalam learning to be ini mengandung prinsip sebagai berikut:
Ø Berfungsi sebagai andil
terhadap pembentukan niali-nilai
yang dimiliki bersama
Ø Menghubungkan antara tangan dan pikiran, individu dengan masyarakat
pembelajaran kognitif dan non-kognitif serta pembelajaran formal dan non-
formal.
Pada learning to be ini ditekankan pada pengembangan potensi
insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan
dan kelemahannya dengan
kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi yang utuh.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar
pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi
baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).
C.
GARIS BESAR MENGENAI KE EMPAT PILAR PENDIDIKAN UNESCO
1. Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan
tujuan yang bagus pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut
pesera didik tidak hanya
diajarkan IPTEK, kemudian
dapat bekerja sama dan memecahkan masalah,
akan tetapi juga
hidup toleran dengan
orang lain ditengah-tengah maraknya
perbedaan pendapat dimasyarakat. Dengan
ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
2. Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian
bagusnya, namun perlu diingat, masih
banyak aspek penghalang
dalam pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya SDM guru yang benar-benar
“mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap
masyarakat atau daerah dalam
memandang arti penting pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas,
fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat kemajuan proses belajar
mengajar, dan kendala-kendala lain.
3.
Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar
pendidikan ini, maka pada gilirannya masyarakat
Indonesia akan menjadi
masyarakat yang bermartabat di
mata masyarakat dunia.
4.
Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi
peserta didik dan pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak dicapai
tidak kunjung terwujud. Bisa jadi
akan muncul sikap
pesimis dan putus
asa kehilangan kepercayaan diri.
2.2
Implementasi Empat Pilar UNESCO
A.
Partners
In Learning/Belajar Dalam Berkelompok
Skenario
1
Humaira membuka tahun
ajaran barunya pada
kelas 10 dengan memberi tugas presentasi kepada
siswanya 12 puisi yang diseleksi dari 100 puisi yang ada. dia membagi siswanya
berpasangan, menyuruh mereka membaca dan mengklasifikasi puisi berdasar
stuktur, bentuk dan tema., mereka bekerja sama dalam mengklasifikasi puisi,
saling menyiapkan untuk saling berdiskusi di antara mereka dalam bentuk group,
saling berdebat, kemudian proses model pembelajaran ini diikuti dengan beberapa
tugas lain yang masih berhubungan, yaitu
satu ditugasi memutuskan
tema-tema yang saling berhubungan
satu sama lain secara
gaya dan struktur .
yang lainnya membangun
hipotesis tentang bagaimana
penulis puisi megkombinasikan antara
gaya dan tema serta struktur puisi mereka.
Humaira mengorganisir kelasnya dalam metode belajar berpasangan
(partnership based learning). tugas
ini membangun tidak saja
pengetahuan kognitif siswa
tapi juga mempersiapkan
siswa untuk menaikkan
kerjasama dalam belajar siswa
berikutnya. Menulis puisi
atau belajar tentang cerita pendek
menjadi tingkat pembelajaran selanjutnya.
Skenario
2
Aisyah, mengajar di kelas 5 . pada hari pertama tahun ajaran baru,
dia membuka kelas dengan tersenyum dan mengajak
siswanya untuk belajar tentang semua nama mereka dan dia
mengatakan bahwa kita akan saling bekerja sama sepanjang tahun. “Let’s star by
learning al our names and one of the ways we will be working together this
year”.
Dia membagi meja dengan siswa yang berpasangan sebagai partner
bekerja hari itu. Kelly menyuruh siswanya yang sudah terbagi sebagai patner
tersebut untuk bekerja sama
membuat klasifikasi nama-nama
temannya dalam beberapa kategori
.
Dalam beberapa menit
mereka sudah dapat mengklasifikasi nama-nama teman mereka,
sebagai contoh, mereka
menempatkan Adi dan Abdi
bersama karena mempunyai huruf Y pada
akhir nama mereka, menempatkan Fajar dan Virgian bersama karena nama mereka
terdengar sama pada awal kata.
Aisyah sudah memulai tahun ajaran barunya dengan mengorganisasi
kerjasama siswa nya dalam bentuk metode belajar kooperatif “ cooperative set”
B.
Tujuan
Cooperative Learning Communities (Model Pembelajaran Kooperatif Dalam Kelompok)
1.
Sinergi dari
model kerjasama ini
bisa lebih memotivasi siswa
dari pada bekerja belajar
sendirian, menciptakan iklim
kompetitif, meningkatkan
integrasi sosial, perasaan saling berkoneksi membangun energi yang positif.
2.
Para
anggota saling bekerjasama dalam grup satu sama lain, setiap pelajar saling
Bantu bahu membahu menbantu.
3.
Interaksi
sesama, membangun kemampuan kognitif sama baiknya dengan kemampuan bersosial.
Menciptakan lebih banyak activitas intelektual yang meningkatkan proses
belajar jika dibandingkan
mereka belajar secara individu (solitary study).
4.
Kerjasama
juga meningkatkan positif feeling terhadap sesama , mengurangi
keterasingan, kesepian, membangun hubungan
, meningkatkan pandangan yang
baik terhadap orang lain.
5.
Kooperatif system
meningkatkan percaya diri
(self estem) bukan saja meningkatkan kemampuan
belajar tapi juga
meningkatkan feeling atau perasaan
dihargai , diperhatikan oleh
orang lain yang
ada disekitarnya.
6.
Pelajar
atau para siswa dapat merespon pengalamannya dalam tugas ini,
mengembangkan kapasitas kerjanya
agar lebih produktif,
atau dengan kata lain, pelajar yang diberi kesempatan bekerja bersama
akan lebih baik mendapatkan manfaat untuk kemampuan umum mereka bersosial .
7.
Pejajar,
termasuk anak sekolah dasar dapat belajar membangun kemampuannya bekerja sama.
C. Cara
Membangun Kerjasama
1. Training for
Cooperation (Model Pembelajaran Kooperatif)
Jumlah proporsi siswa
dalam grup dapat
menentukan berjalan atau tidaknya suatu kerjasama. Kebanyakan
siswa mudah untuk berkerjasama ketika tugas yang diberikan tersebut telah
jelas, bagaimanapun pengembangan cara yang lebih efisien yang lebih jelas itu
sangat penting. Ada beberapa cara untuk menolong pelajar agar
lebih praktis dan
efisien, dalam bentuk
besar grup, keragamannya dan
prakteknya.
Bila siswa belum berpengalaman dalam bekerja sama maka tempatkan
mereka dalam jumlah yang kecil saja. Jumlah grup yang terdiri dari 2, 3 atau4
biasanya yang paling umum digunakan. Jumlah anggota yang lebih dari 6 orang
biasanya jadi kaku dan membutuhkan kemampuan kepemimpinan dimana siswa tidak
dapat bekerja sama satu sama lain, bila mereka tidak berpengalaman
2. Training for Efficiency (Belajar Efisiensi)
Kagan telah mengembangkan
beberapa cara prosedur
pembelajaran pada siswa dimana kerjasama
menjadi tujuan, dimana semua
siswa berpartisipasi secara equal, dalam menjalankan tugas.
Sebagai contoh ketika ada group
yang ter diri dari
3 orang diberi
tugas, maka, harus ada pembagian
tugas yang merata agar,
masing-masing siswa saling bekerja
dan melengkapi, ada yang menjadi
pembicara, ada yang menulis, ada
yang mencari jawaban
yang benar atau
yang mengecek untuk jawaban bagi temannya sebagai pembicara.
3.
Training For Interdepence (Belajar Saling Membutuhkan)
Belajar untuk saling membutuhkan
adalah penting dalam
berkerja sama, agar kerjasama
bias saling efisien dan berperoses. Dengan saling membutuhkan akan timbul
empaty, sehingga sebuah grup ini akan dapat berjalan dinamis,
tercipta suasana yang berkembang dan bertanggung jawab.
4.
Division of Labor: Specialization (Pembagian Kerja)
Pembagian kerja merupakan prosedur untuk membantu siswa belajar
bagaimana saling membantu diantara mereka.
Setiap siswa memdapat kewajiban yang sama, sebagai contoh
sebuah kelas sedang mempelajari tentang Africa, dibagai grup yang terdiri dari
4 orang siswa, 4 negara dipilh untuk dipelajari, satu anggota dari tiap anggota
grup di beri tugas mencari tentang Negara tersebut, ada yang meringkasnya,ada
yang menjadi tutor, ada yang mendapat tugas mengingatkan semua aspek data.
Prosedur ini
disebut jigsaw, dengan demikian para siswa diajak untuk meningkatka
kemampuannya , keterampilannya dalam pembagian tugas dan bekerja sama.
5. Kerjasama dan Motivasi
Kerjasama akan
membangun motivasi para
siswa, mereka dapat lebih bergairah untuk belajar , karena
mereka dapat mengaktualisasi diri, ketika motivasi itu berkembang dan motivasi
yang terbangun secara internal , akan memberikan satu kekuatan yang
meningkatkan tujuan dari maksud pembelajaran tersebut.
D. Group Investigation: Building Education Through The Emocratic
Process (Membangun Pembelajaran Melalui Proses Demokrasi)
Skenario 3
Abdullah adalah guru
kelas 11 mengajar
mata pelajaran georgrafi memberikan data dari Komputer
tentang 177 negara yang ada di dunia, setiap grup yang terdiri dari 4 siswa mennganalisa 20 negara, dan mencari korelasi antara populasi,
perdapatan perkapita, angka
kelahiran, angka harapan hidup, produksi pertanian, industri, transportasi system,
pelayanan kesehatannya, hak-hak perempuan, dan hasil bumi tiap negara
tersebut.
Grup-grup tersebut akhirnya
mengemukakan banyak pendapat
setelah mereka menganalisa data-data
yang ada tiap
Negara, seperti, pada beberapa Negara yang harapan hidupnya
terpaut kurang sampai 20 tahun dibanding
negera yang lain, bahwa Negara yang kaya mempunyai fasilitas militer yang lebih
baik disbanding Negara
yang miskin yang lebih
mengutamakan pelayanan kesehatan,
bahwa hak asasi
wanita tidak berhubungan dengan
type suatu Negara, dan lain-lain.
Setelah semua analisa selesai dilakukan oleh para grup, Abdullah
secara hati-hati mencatat semua hasil reaksi penganalisaan mereka dan mereka
memutuskan untuk membaw semua hasil data dan kesimpulan yang mereka dapat dari
hasil diskusi, mereka juga memutuskan bahwa apa
yang mereka butuhkan untuk membuat sebuah hipotesis
atas data yang mereka
dapat. Ada siswa
yang ingin tahi tentang pengaruh dan hubungan antara organisasi
dunia / WHO dengan Negara-negara yang menjadi anggotanya.
Ketika begitu pertanyaan
danb kesimpulan yang
beraneka ragam timbul, maka guru mengajak mereka untuk
meinvetarisir kembali, memprioritaskan apa yang ingin mereka gali kembali dan
membagi kembali tugas tersebut.
Inilah yang dimaksud membangun pembelajaran dalam kelompok secara
demokratis. Proses demokratis
dalam bentuk kelompok
pembelajaran walaupun memang
sulit karena dibutuhkan
seorang guru yang mempunyai standard qualifikasi
dan keterampilan yang
tinggi. Walaupun agak
sulit dan menakutkan karena para
gurum orang tua dan kepala sekolah malah menganggap metode ini malah akan jadi
mandek.
Tapi bagaimanapun juga
metode ini harus
dicoba, untuk membangun kapasitas building belajar para
siswa, agar menjadi lebih kreatif dan mandiri. Dipandu oleh guru-guru yang
berpengalaman
E. The Philosophical Underpinnings
(Dasar Filosofi)
Dasar filosofi dalam pengembangan model demokrasi proses ini adalah
John Dewey yang menulis “who wrote how we think tahun 1910, kemudian banyak teori
yang kemudian muncul, membahas teori ini, seperti tahun 1920 Charles Hubbard
Judd yang menekankan pengetahuan akademis. Willian Heard Kilpatrick, yang
beberapa tahun memjadi pembicara untuk progressive movement, menekankan social
problem solving . George Counts menekankan tidak hanya problem solving tapi
juga konstruktif masyarakat, tapi kemudian teori yang paling mendekati tentang
demokrasi proses ini dibuat oleh Gordo H Hullfish dan Phillip G smith dalam
buku Reflective thingking : Methode of Education, kedua penulis ini memberikan
tekanan pada peran pendidikan dalam membangun kapasitas mengembangkan cara
mengolah informasi dan konsep, nilainya dan kepercayaan.
Esensi fungsi dari demokrasi adalah dengan membahas definisi
masalah, dan situasi masalah tersebut. Kemampuan membahas dengan orang lain
atau bertukar pikiran dengan orang lain akan membatu seseorang dapat bertukap
pikiran dengan dunianya.
F. Orientation To The Model
1. Goals and assumption
John Dewey (1916)
merekomendasi agar seluruh sekolah diorganisir sebagai miniature demokrasi,
siswa-siswa berpartisipasi dalam
mengembangkan sosial system, melalui pengalaman, secara berkesinambungan belajar
dengan metode sains untuk
mengembangkan sosial masyarakat
dewey berpendapat untuk mempersiapkan warga
Negara yang demokrasi, sehingga metode ini di gunakan
untuk mewujudkannya.
John U Michaelis
(1980) kemudian menyari
dari formulasi dewey
dalam mengajar siswa sekolah dasar. Pusat dari metode belajar ini
sebagai kreasi dalam demokrasi grup dalam mengatasi masalah sosial secara
siqnifikan
G. Models Of Teaching
Pada Chapter 1 . part 1 buku Models of teaching, dijelaskan bahwa social
models mengkombinasi antara
belajar (learning) dan masyarakat (society) . kedudukannya kearah
pengajaran dengan prilaku yang kooperatif (cooperative behavior)
menstimulasi tidak hanya secara social tapi juga intelektual, dan
karenanya tugas interaksi
social dapat di
desain untuk meningkatkan studi
akademik.
Sesuai dengan penekanan dan titik
beratnya aplikasi model
ini adalah untuk mengembangkan kecakapan individu
pelajar dalam berhubungan dengan orang lain
atau masyarakat. Individu siswa
dalam hal ini
dihadapkan oleh grtu
dalam situasi yang demokratis didorong untuk berprilaku produktif dalam
bermasyarakat. Salah satu model
yang mengutamakan interaksi
antara siswa dalam
situasi demokratis adalah model mengajar role playing karena banyak
teori social yang tidak
hanya berpotensi meningkatkan kemampuan rasional
siswa tapi juga
juga sudah menerbitkan
pertanyaan serius adu kuat bentuk
pendidikan yang sudah ada disekolah.
1.
Syntax (Langkah-Langkah)
Dimulai dengan melempar masalah
secara konfrontasi, masalah
dapat secara verbal maupun pengalaman ,
sehingga siswa dapat terstimulasi bereaksi, mereka
menjadi lebih interes
dalam berbagai reaksi
terhadap permasalahan yang
dihadapi, siswa kemudian
mengadakan analisis data dan
masalah , membahas
dan membuat laporannya, akhirnya
setiap kelompok mengevaluasi tujuan
yang mendasar. Jadi terdapat
siklus mulai dari mengulang
sendiri, konfrontasi terhadap
yang lain dengan problem yang
baru dan berkembang menjadi sesuatu siklus activitas yang mandiri.
Fase 1. awalnya siswa masih bingung terhadap situasi banyak masalah yang muncul
Fase 2. siswa menyelidiki reaksi yang muncul dalam situasi tersebut
Fase 3. siswa memformulasi tugas
dan mengorganisasi tugas (masalah, definisi, tugas)
Fase 4. mendiskusikan secara mandiri dalam grup
Fase 5. siswa analisis progres dan proses
Fase 6. siklus aktivitas
SUPORT SISTEM
Dalam merancang kelompok pembelajaran sekolah
membutuhkan perpustakaan
yang baik yang
dapat menyediakan berbagai
informasi yang dibutuhkan
siswa, mereka harus
distimulasi untuk selalu mencari
ilmu pengetahuan.
H.
Instructional and Nurturant Effects Group Investigation Model/ Model
Kelompok Pembelajaran
Model pembelajaran ini cukup menyeluruh dan serba guna, dapat
meramu tujuan akademik, social integrasi, social proses learning. Dengan model
pembelajaran berkelompok akan dihasilkan:
1)
Rasa
menghargai terhadap orang lain dan dapat menerima semua perbedaan (pruralism)
yang ada (respect for dignity of all and commitment to prulism)
2)
Mempunyai
kepercayaan diri sebagai seorang pelajar yang memang tugasnya adalah belajar
(independence as a learner)
3)
kesanggupan
bersosial (commitment to Social )
4)
mempunyai
kepribadian yang hangat (interpersonal warmth and affiliation)
5)
kostruksi
bagaimana kita memandang ilmu pengetahuan
6)
kedisiplinan
dalam mencari
7)
efektivitas
proses pembelajaran kelompok dan kepemimpinan
2.3
Model Pembelajaran yang Didasari oleh Empat Pilar UNESCO yang
Dipandang efektif Meningkatkatkan Hasil Belajar Siswa
1.
Model
pembelajaran Visualization, auditory, kinesthetic
Model pembelajaran ini memperhatikan
perbedaan gaya belajar siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa aktif dalam
pembelajaran salah satuna adala model pembelajaran visualization, auditory,
and kinesthetic (VAK). Model pembelajaran VAK meruapakan model pembelajaran
yang mengembangkan cara belajar dengan memaksimalkan alat indera untuk
memberikan makna terhadap pengalaman belajar siswa. Pengalam belajar secara
langsung dengan melihat (visual), mendengar (auditori), dan bergerak, bekerja,
dan menyentuh (kinestik).
Melalui optimalisasi alat indera,
siswa memperoleh pengalaman langsung untuk menambah kekuatan mencari,
menyimpan, dan menerapkan konsep. Siswa dapat terlibat aktif dalam menemukan
dan memahami suatu konsep melalui kegiatan fisik. Proses pembelajaran akan
terasa menyenangkan dan hasil belajar siswa akan meningkat.
Putri, dkk., (2017) yang menerapkan
metode VAK terhadap kelas XI IPA berjumlah 91 siswa dengan teknik cluster
random sampling melaporkan bahwa rerata nilai posttest kelas
eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas control. Rerata posttest dan
ketuntasan belajar yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dikarenakan
pembelajaran dengan VAK menekankan adanya keterlibatan panca indra. Siswa
ditayangkan beberapa video yang berkaitan dengan materi hidrolisis garam
kemudian siswa secara berkelompok menganalisis tayangan video tersebut. Selain
itu pula, hasil belajar ranah sikap kelas eksperimen memiliki delapan aspek
berkriteria tinggi, sedangkan kelas control enam aspek berkriteria tinggi.
Hasil belajar ranah keterampilan siswa pada kelas eksperimen memenuhi lima
aspek yang berkretria tinggi, sedangkan kelas control memiliki tiga aspek
berkriteri tinggi.
Penggunaan audio-visual dapat menjadikan pembelajran lebih menarik
karena dapat memperkuat ingatan siswa dan mendorong siswa untuk menggunakan
banyak alat indera. Model pembelajaran ini dapat menjadikan siswa lebih aktif
dan terlibat langsung dalam mencari informasi mengenai materi.
2.
Model
pembelajaran Project Citizen
Model pembelajaran ini adalah satu
bentuk pembahuruan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran model ini berbasis
masalah yang disajikan dan dipecahkan dalam bentuk praktik belajar. Peserta
didik akan dihantarkan untuk terlibat secara tidak langsung dalam penyelesainan
suatu masalaah. Pembelajaran proyek dengan mengendapnkan pemecahan amsalah
sangat penting diterapkan. Peserta didik akan lebih mampu menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya di dunia pendidikan untuk diterapkan dalam
kehiduapannya.
Project Citizen pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat yang untuk pertama
kalinya diterapkan pada mata pelajaran Civic dengan tujuan untuk lebih
mengoptimalkan pembeljaran.
Budimansyah (2010) mengemukakan
bahwa model ini memiliki focus pengembangan pada civic knowledge
(pengetahuan kewarganegaran), civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), civic disposition (karakter kewarganegaraan), civic
skills (keahlian kewarganegaraan), civic commitment (komitmen
kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewarganegaraan),
yang bermuara pada berkembangnya well-informed, reasoned and responsible
decision making (kemampuan mengambil keputusan berwawasan, bernalar, dan
bertanggung jawab).
2.4
Tuntutat Pembelajaran Abad 21
Kemampuan belajar dan inovasi
merupakan salah satu kunci penting untuk menguasi berbagai kemampuan lainnya.
Kemampuan ini terbagi menjadi 3 yang meliputi kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah (expert hinking), komunikasi dan kolaboruasi (complex communicating), kreativitas
dan inovasi (applied imagination an invention). Melalui 3 kemampuan
tersebut maka berbarengan dengan empat pilar UNESCO dipandang mampu untuk
menjawab tuntutat pembelajaran abad 21.
Hubungan antara kemampuan berpikir
kritis pada masa ini jelas sangat dibuthkan apalgi dengan pembelajaran abad 21
menuntut manusia agar memiliki kemampuan berpikir yang baik. Kemampuan berpikir
kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial dan berfungsi efektif dalam
semua aspek kehidupana. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis ini menjadi
sangat penting sifatnya dan harus ditanamkan sejak dini baik di sekolah, di
rumah mapun di lingkungan masyarakat. Dalam proses pemebalajran untuk mencapai
hasil yang optimal dibutuhkan berpikir secara aktif. Hal ini berarti proses
pembelajaran yang optimal membutuhkan pemikiran kritis dari si pembelajar. Oleh
karena itu, berpikir kritis sangat penting dalam proses kegiatan pembelajaran.
Berpikir kritis merupakan proses
berpikir intelektual di mana pemikir dengan sengaja menilai kualitas
pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran menggunakan pemikiran yang
reflektif, independen, jernih, dan rasional.
Seorang yang belajar matematika
diharapkan dapat berkembang menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan
kreatif untuk menjamin bahwa dia berada pada jalur yang benar dalam memecahkan
persoalan matematika yang dihadapi atau materi matematika yang sedang
dipelajarinya, serta menjadmin individu kritis dalam mempelajari matematika.
Santock (2007) menyatakan bahwa jika
seroang murid berpikir kritis maka akan melakukan hal-hal dibawah ini:
1.
Menanyakan
bagaiaman dan mengapa bukan hanya apa yang terjadi
2.
Menari
bukti bukti yang mendukung suatu fakta
3.
Beradu
pendapat dengan cara yang masuk aka, bukan dengan emosi
4.
Mengenali
bahawa kadang-kadang ada lebih satu jawaban atau penjelasan
5.
Membadnignkan
jawaban-jawaban yang beragaman dan menentukan mana yang terbaik
6.
Mengevaluasi
apa yang dikatakan orang lain, alih-alih menerima begitu saja sebagai kebenaran
7.
Menanyakan
pertanyaan-pertanyaan dan berani berspekulasi untuk menciptakan ide-ide dan
informasi-informasi baru.
Dengan demikian kemampuan berpikir
kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang termasuk dalam 4C (Crtitical
thinking, communication, collaboration, and creativity) pembelajaran abad
21. Kemampuan 4C adalah kemampuan penting sesuai kemampuan abad 21. Kemampuan
berpikir krtis dapat dikembangkan dan dirangsang melalui pembelajaran, terutama
pembelajaran yang berbasis tema serta maslaah. Sangat sesuai jika diterapkan pada
kurikulum yang diugnkan saat ini. Guru hendaknya berorientasi pada perolehan
pengetahuan bukan pada produk pengetahuan. Agar siswa mampu berpikir kritis,
maka dalam menyiapkan pembelajarn guru menranang pembelajaran yang menantang
siswa, menarik serta dapat menggunakan berbagai metode dan model salah satunya
adalah Problem solving. Member pertanyaan yang tepat serta merancang
pertanyaan yang analitis dapat dipilih guru sehingga kemampuan berpikir siswa
dapat meningkat, jadi tidak hanya ranaah berpikir tingkat rendah namun juga
ranah berpikir tingkat tinggi siswa dapat terasah.
2.5
Invoasi Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0
Perkembangan teknologi internet
memberikan nuansa sistem pendidikan jarak jauh yang lebih terbuka lagi. Sistem
pembelajaran yang berbasis web yang popular dengan sebutan Electronic Learning
(e-learning), Web-Based Training (WBT) atau dapat disebut
Web-Based Education (WBE),
kampus maya (Virtual
Campus), mobile learning (m-learning) dan lain-lain sudah mulai
dikembangkan secara luas. Dengan keadaan yang demikianlah, belajar jarak jauh
dan pendidikan jarak jauh akan menjadi pelopor memasuki era baru yakni abad 21
atau era milenia.
Dalam pembelajaran abad 21 kita
mengenal istilah literasi ICT. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk
menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan
berpikir dan belajar peserta didik. Kegiatan-kegiatan yang harus
disiapkan oleh pendidik
adalah kegiatan yang
memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menggunakan teknologi
komputer dalam pembelajaran. Oleh karena itu penguasaan teknologi komputer bagi
seorang pendidik dalam abad 21 ini adalah suatu yang wajib dan tidak dapat
dihindari. Bagi seorang pendidik pada abad 21 saat ini sudah menjadi kewajiban
untuk meng- upgrade kemampuannya.
Banyak cara yang dapat dilakukan
pendidik untuk meng-upgrade kemampuannya. Salah satu cara adalah dengan
mengikuti diklat, pelatihan, workshop, training dan kegiatan-kegiatan sejenis
lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan secara berkelompok ataupun
mandiri. Secara kelompok pendidik dapat bergabung dalam forum keprofesian guru
semisal MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Kemudian secara
individu pendidik dapat
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengupgrade kemampuannya.
Banyak model-model pelatihan online yang dapat dimanfaatkan oleh guru. Hampir
semua Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang
ada di Indonesia saat ini sudah banyak yang memfasilitasi pendidik yang ingin
meng-upgrade kemampuannya. Misal P4TK Matematika dan P4TK IPA yang sudah sering
melaksanakan Diklat Online, E-Training, dan E-Learning.
Bukan cuma P4TK, beberapa
Universitas baik Indonesia atau luar negeri sudah banyak yang mengadakan Diklat
Online, Training Online, dan kegiatan sejenisnya. Misalnya Universitas Terbuka
dan Fakultas Pendidikan University Kebangsaan Malaysia yang membuka program
sertifikat, yakni sejenis pelatihan online yang nantinya setelah dinyatakan
lulus dari pelatihan online tersebut peserta dapat langsung mencetak sertifikat
pelatihan tersebut. Banyak jenis atau tema pelatihan yang dapat kita ikuti
dalam pelatihan online yang diadakan beberapa perguruan tinggi tersebut.
Tema-tema pelatihan pun disesuaikan dengan isu-isu pendidikan yang masih ramai saat
ini.
Pengetahuan
atau literasi
TIK menjadi salah satu
prasyarat bagi kesiapan
masyarakat mengoptimalkan
pemanfaatan TIK bagi kehidupannya. Pengetahuan
tersebut diperlukan karena merupakan suatu
bentuk
kesiapan
mental yang dapat memberi arah bagi setiap individu guna memperoleh keuntungan melalui
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Secara teoritis, untuk
sampai ke tingkat ICT-Literacy ada
empat tahap yang
harus dilalui, yaitu: (1)
Information Literacy, (2) Computer Literacy, (3)
Digital Literacy, dan (4)
Internet Literacy.
Information literacy adalah
kemampuan mengakses, mengevaluasi, dan
menggunakan informasi dari berbagai bentuk – buku, surat kabar, video,
CD-ROMs, atau web computer literacy adalah kemampuan menggunakan komputer untuk
memenuhi kebutuhan pribadi”. Information literacy juga diartikan kumpulan
keterampilan, pengetahuan,
pemahaman, nilai, dan
hubungan kerabat yang mengijinkan seseorang berfungsi sebagai warga
negara yang produktif dalam masyarakat yang berkiblat pada komputer.
Digital literacy adalah kemampuan
memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber ketika disajikan melalui
alat digital. Kemampuan untuk
memahami bagaimana informasi dihasilkan
dan dikomunikasikan dalam
berbagai bentuk melalui penciptaan kerangka kerja kritis untuk
retrieval, lembaga, evaluasi, presentasi, dan menggunakan informasi menggunakan
alat-alat teknologi digital (Central European University).
Internet literacy adalah kemampuan
menggunakan pengetahuan teoritis dan praktis mengenai internet sebagai satu
media komunikasi dan informasi retrieval. Dengan demikian, ICT-literacy adalah salah
satu kombinasi dari kemampuan intelektual, konsep fundamental, dan keterampilan
kontemporer yang harus dimiliki seseorang untuk berlayar menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi secara efektif.
2.6
Perkembangan Pendidikan di Negeri Tetangga
1.
Singapura
Saat ini Singapura adalah rujukan berbagai bakat, membuat beberapa teknologi dan litbang bioteknologi
dan teknologi tinggi pusat manufaktur, perusahaan perumahan global termasuk 3M,
Baxter, Medtronic dan Siemens. Jalan-jalan di Singapura bersih dan aman, tenaga
kerja terampilnya dibayar dengan baik dan pajak terdistribusi kembali. Sistem
memastikan bahwa penduduk lokal memiliki akses terhadap perumahan berkualitas
dan pendidikan publik.
Jalan menuju status hubungan teknologi tinggi Singapura saat ini
adalah hanya beberapa dekade dalam pembuatannya, yang didalamnya tidak
dilupakan oleh kunci Inisiatif kepemimpinan. Pada tahun 1981, Dr. Tay Eng Soon,
Menteri Pendidikan, memimpin sebuah misi untuk mempelajari program pendidikan
berbakat di negara lain. Temuan misi ini menegaskan kebutuhan yang mendesak.
Mulailah program pendidikan yang berbakat mengingat Singapura
adalah negara kecil, dengan sedikit sumber daya manusia sebagai dasar
kemakmuran masa depannya.
Pada tahun 1984, sebuah proyek percontohan dimulai oleh Kementerian
Pendidikan (Kemendik) di 2 sekolah dasar, Sekolah Dasar Raffles Girls dan
Rosyth School, dan 2 sekolah menengah, Raffles Girls School (Sekunder) dan
Institusi Raffles. Ini menjadi basis kebijakan nasional, "Program
Pendidikan Berbakat”.
Skor siswa disepuluh persen teratas untuk ujian prestasi di
Singapura memenuhi syarat untuk mendapatkan tambahan pengujian untuk menentukan
kelayakan layanan yang berbakat. Dengan demikian Singapura memiliki definisi
yang paling luas Berbakat di antara negara-negara yang diteliti. Selanjutnya,
cabang the Gifted Education (GE) dari MOE menentukan Jika seorang anak
"sangat" berbakat dengan melihat 4 kumpulan informasi: sebuah laporan
psikologis, prestasi dan kemampuan / tingkat di atas tingkat tes, contoh karya
anak, dan rekomendasi guru.
Kementerian Pendidikan secara formal mengidentifikasi bakat
akademis dan melayani 1% teratas kohort nasional melalui Program Pendidikan
Berbakat (GEP), dimulai di semester 4. Ini juga melayani untuk yang sangat
berbakat sekitar 500 murid (dari 4000 murid yang diuji) masuk ke program di
tingkat dasar 4 setiap tahun. Intervensi untuk anak berbakat sangat luas.
Ini termasuk pengayaan (siswa belajar topik yang diajarkan secara
lebih mendalam dan luas), instruksi serba diri, kursus online (kelas tingkat
atas), bimbingan (siswa disesuaikan dengan mentor yang memberikan pelatihan dan
pengalaman lanjutan di area konten tertentu), percepatan subjek (siswa
ditempatkan pada tingkat kelas yang lebih tinggi secara spesifik subjek tetap
dengan kohort usia untuk mata pelajaran lainnya), pendaftaran ganda (di lebih
dari satu sekolah), penerimaan sekolah dasar awal (pada usia 5 tahun), dan
kelas akselerasi (sampai 4 kelas). Menurut Kementerian Pendidikan Singapura,
jumlah anak pra-universitas di Singapura adalah 521.594 (2009). Dalam populasi
yang terdistribusi normal, ada sekitar tiga macam sangat berbakat di antara
100.000 anak. Jadi diperkirakan jumlahnya sangat banyak anak-anak berbakat di
Singapura berusia 16 tahun 2009.
Meski memiliki populasi kecil, Singapura telah menemukan tempat
yang unik cara untuk meningkatkan jumlah pemuda berbakat, dan negara-negara
lain telah memperhatikannya. Singapura telah menjadi negara yang ditiru, oleh
masyarakat di seluruh Asia (termasuk Okinawa, Jepang) mencoba untuk
mengikuti keberhasilannya. Beberapa
dekade kebijakan nasional yang mengutamakan kebijakan nasional. Arsitek sistem
inovasi nasionalnya, termasuk Philip Yeo, telah berfokus pada investasi di
pendidikan.
Pemerintah nasional telah memperluas kebijakan pendidikan yang
berbakat untuk menarik yang terbaik dan paling terang dari negara lain untuk
menetap di Singapura. Salah satu contohnya adalah "Guppies to Paus
"yang disponsori oleh The Singapore Agency for Science, Technology and
Research (STAR). Meningkatnya siswa sekolah dasar, menengah dan atas dengan
bakat dalam bidang matematika dan sains diidentifikasi di Singapura dan negara-negara
lain, khususnya di Asia. Untuk meningkatkan memori jangka panjang untuk
Singapura, mahasiswa asing diharuskan untuk menerima kewarganegaraan Singapura
dan juga diminta untuk setidaknya bekerja di Singapura 3 tahun setelah lulus.
Siswa lokal juga berhak mendapatkan sponsor serupa program.
2.
China
Pada tahun 2000 di negara Cina, tengah disibukan mempromosikan
kreativias sebagai komponen penting dalam sistem pendidikan nasional negara
mereka. Sebelumnya para pemimpin pendidikan di Cina melihat kurangnya
kreativitas sebagai penghalang untuk sukses secara global dan kompetitif.
Menurut Wang (dalam Lockette, 2012, hlm. 1) Reformasi pendidikan di Cina saat
itu dirancang dari pembelajaran ceramah dan hafalan menjadi pembelajaran yang
berpusat kepada siswa, hal itu termasuk pembelajaran kooperatif, metode
penemuan, serta pembelajaran berbasis proyek.
Sebagai inti dari reformasi, para pemimpin di Cina melihat dan
masih menganggap bahwa pendidikan penting bagi pengembangan Cina, sebagai
kekuatan global dan politik dan merasa interaksi sosial di dalam ruang kelas
sebelum reformasi tidaklah kondusif untuk pengembangan kreativitas dan
inovasi.Rencana lima tahunan Cina yang kesebelas pada tahun 2006 juga
menempatkan kreativitas sebagai prioritas negara (Vong, dalam Lockette, 2012,
hlm. 1). Menstimulasi kreativitas, kenegaraan dan pemerintah daerah dan guru
diberi wewnang lebih besar dalam pengembangan dan seleksi buku teks, serta
lebih banyak pendapat dalam mengembangkan kurikulum yang fleksibel.
Untuk mereformasi pendidikan dengan model pendidikan yang
berkualitas, pemerintah Cina memandang negara-negara Asia terkemuka seperti
Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Pengaruh negara-negarabarat juga
termasuk, terutama pada pembelajaran yang berpusat pada siswa dan pembelajaran
learning by doing (Lockette, 2012, hlm. 1). Pendidikan berkualitas, yang
merupakan inti reformasi pendidikan Tiongkok, terlihat sebagai pendekatan
holistik yang berfokus pada keseluruhan pribadi dan merupakan reaksi terhadap
pola pikir pendidikan yang telah ada di Cina selama lebih dari 1000 tahun,
termasuk kekaisaran Cina dengan hafalan-hafalan dan penalaran yang menjadi
metode pengajaran standar.
Namun, setelah lebih dari satu dekade reformasi pendidikan yang
berfokus pada pengembangan kualitas, tidak ada bukti bahwa reformasi tersebut
mengahasilkan dampak positif yang signifikan terhadap pengajaran dan
pembelajaran di Cina. Peneliti Liu & Dunne (dalam Lockette, 2012, hlm. 2)
mengklaim bahwa semua keputusan dan tindakan pendidikan masih berfokus pada
sistem ujian tes. Tujuan belajar hanya sebatas berhasil menjawab pertanyaan tes
lalu melalanjutkan ke tingkatan sekolah berikutnya.
Ketimpangan reformasi pendidikan juga terjadi di wilayah pedasaan
yang ada di Cina. Perbedaan demografis antara masyarakat perkotaan dengan
masyrakat pedesaan menyebabkan sulitnya melaksanakan reformasi terlebih
guru-guru di pedesaan tidak melaksanakan reformasi pendidikan. Di pedesaaan,
pembelajaran masih banyak memakan waktu di kelas dengan membaca dan metode hafalan
yang membuat para peserta didik pasif.
Menurut Burton (dalam Lockette, 2012) Dalam semua wilayah di Cina,
budaya mungkin merupakan penghalang terbesar dalam menggabungkan kreativitas
mencapai tujuan pendidikan berkualitas. Studi tentang pengajaran dan pembelajaran
di Cina biasanya menandai orang Tionghoa sebagai kurang kreatif, sebagian besar
disebabkan oleh filsafat Konfusius yang menghargai kolektifisme, kerja keras,
dan rasa hormat otoritas bahwa lazim dalam budaya Tiongkok bagi para guru untuk
menganggap ketidaksesuaian sebagai perilaku pemberontak dan sombong.
3.
Koreae
Selatan
Seperti halnya pendidikan di negara-negara lain, termasuk
Indonesia. Pendidikan di Korea Selatan dilaksanakan dalam beberapa jenjang,
yaitu jenjang pendidikan primer (primary education), pendidikan sekunder
(secondary education), dan pendidikan tinggi (high education). Pendidikan
primer di Korea Selatan diwajibkan untuk anak-anak berusia 6 sampai 14 tahun.
Pada jenjang pendidikan primer ini, prosesnya dilaksanakan di taman kanak-kanak
dan sekolah dasar. Pendidikan sekunder di Korea Selatan idealnya dilaksanakan
selama 6 tahun, yaitu 3 tahun di sekolah menengah (setara dengan SMP di
Indonesia) dan sekolah atas (setara dengan SMA di Indonesia). Pada jenjang
pendidikan sekunder ini, prosesnya dilaksanakan sekolah-sekolah kejuruan
(setara dengan SMK di Indonesia). Selain itu, pada usia-usia sekolah menengah
dan sekolah tinggi ini, anak-anak Korea Selatan melaksanakan beberapa
pendidikan tambahan, yaitu melalui kegiatan kursus-kursus tertentu.
Dalam jenjangnya, pada Taman Kanak-kanak (TK) di Korea Selatan, TK
bukanlah program publik/formal tetapi merupakan lembaga swasta yang mengajarkan
bahasa Korea dan Inggris. Usia anak-anak yang memasuki TK berkisar antara 3-7
tahun. Di TK ini satu kelas bisa berisi anak-anak dengan rentang umur yang
berbeda (4 tahun). Kemudian Sekolah
Dasar (Chodeunghakgyo) sekolah dasar terdiri dari kelas 1 - 6 dengan rentan
usia 7 - 13 tahun. Siswa kelas 1 dan 2 mempelajari bahasa Korea, matematika,
sains, ilmu sosial, seni, dan bahasa Inggris, sedangkan kelas 3 hingga 6
ditambah PE, pendidikan moral, seni praktis, dan musik. Biasanya, guru kelas
(wali kelas) yang mengajar sebagian besar mata pelajaran, kecuali bahasa asing
dan olahraga. Mereka yang ingin menjadi seorang guru sekolah dasar harus
memiliki kemampuan utama dalam pendidikan dasar, yang secara khusus dirancang
untuk menumbuhkan guru sekolah dasar.
Pada tahun 2008 sekolah dasar dan menengah berpartisipasi dalam
pendidikan untuk yang berbakat, pendidikan Berbakat di Korea lebih lambat
berkembang daripada negara-negara Asia Timur lainnya (Kathryn & Arens,
2012, hlm. 12). Busan Science High School (BSA), didirikan pada tahun 2001,
merupakan sekolah berbakat pertama yang resmi. Proses seleksi pendatang baru ke
BSA terdiri dari tiga tahap. Pendaftar diputar berdasarkan nilai matematika dan
sains atau pertunjukan terbaik di kompetisi sains dan sains nasional atau
internasional. Pada tahap kedua, kemampuan pemecahan masalah kreatif dalam
matematika dan sains dievaluasi. Tahap ketiga dari proses seleksi adalah sebuah
kamp panjang empat hari. Siswa menunjukkan kemampuan mereka dalam identifikasi
masalah, desain eksperimental, pengumpulan data, menarik kesimpulan, dan
menyajikan dan mengomunikasikan hasil di depan audien. Pada tahun 2009, Seoul
Science High School memulai proses konversi menjadi sekolah yang berbakat.
Selanjutnya, Undang-Undang Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah (2009) dan
Undang-Undang Pendidikan Berbakat (2009) mempromosikan pembuatan sekolah menengah
khusus dan sekolah tambahan untuk yang berbakat.
Sebelumnya, pada tahun 2005, sebuah program dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendidik anak-anak berbakat orang-orang yang memiliki
kekurangan sosioekonomi. Tidak seperti pendaftar untuk pusat pendidikan atau
kelas untuk yang berbakat, kandidat ini dipilih melalui tes berpikir kritis
(bukan tes yang berorientasi pada subjek, yang sering dianggap memiliki bias
terhadap siswa dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi). Singapura mirip
dengan Korea dalam mengasuh kemampuan siswa berprestasi tinggi-terlepas dari
status sosial ekonomi, dan sebagai tambahan, negara asal.
Menurut Riyana (dalam Makalah Studi Pengembangan Kurikulum),
Reformasi kurikulum di Pendidikan Korea dilaksanakan sejak tahun 1970-an dengan
mengkoordinasikan metode pembelajaran dan pemanfaatan teknologi, adapun yang
dikerjakan oleh guru, meliputi langkah, yaitu 1) perencanaan pengajaran, 2)
diagnosis murid, 3) membimbing siswa belajar dengan berbagai program, 4) test
dan menilai hasil belajar. Selain itu juga, pendidikan di Korea Selatan juga
bersifat sentralisasi, yang diantaranya untuk meningkatkan investasi
Pendidikan, memperkecil jurang pemisah antara penduduk kota dan desa dan
memberikan perhatian besar terhadap pendidikan sosial dan moral.
Dalam mendukung pembelajaran di Negara Korea, Departemen
Pendidikan, Sains dan Teknologi (MEST) meluncurkan program pada tahun 2007,
menyerukan tidak hanya untuk penciptaan buku digital, tetapi juga database
jaringan dari bahan ajar untuk melayani sebagai yang baru, dan kurikulum yang
fleksibel. Penggunaan buku teks digital memiliki banyak keuntungan yang berbeda
atas pembelajaran berbasis cetak tradisional, yang kini banyak dilihat oleh
pendidik Korea sebagai terlalu pasif dan ketinggalan zaman. Sedangkan,
kebutuhan pendidikan berubah, begitu juga metode pembelajaran yang dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan.
Jang (dalam Kim, Young & Hung, 2010), menyatakan “Menghafal dan
pengulangan adalah metode pembelajaran yang efektif untuk informasi hanya
mempertahankan, tetapi tidak cocok untuk penerapan pengetahuan dan reproduksi
kreatif. Dan Kompetensi kreatif adalah tujuan utama pendidikan”. Buku digital
menyediakan platform untuk kurikulum yang dapat dengan mudah diperbarui oleh
guru, dan juga menawarkan lebih banyak kesempatan untuk konten dinamis dengan
peningkatan interaktivitas. Studi terbaru menunjukkan bahwa media baru
tampaknya memiliki dampak positif pada siswa belajar, dengan perbaikan diukur
dalam meta-kognisi, self-regulated learning, self-efficacy, eksplorasi
informasi, pemecahan masalah, motivasi intrinsik dan refleksi diri.
Komponen lain untuk membantu sistem pembelajaran digital di Korea
Selatan meliputi pengembangan depan Sistem Pembelajaran Cyber untuk
meningkatkan kesempatan pendidikan luar sekolah, dan pembentukan gateway
e-learning. Pendidikan pintar bergantung pada faktor-faktor lain untuk Korea
Selatan. Didukung dengan kemajuan teknologi berdampak pula pada kemajuan
pendidikan dan ekonomi, Cepat, internet handal tersedia hampir di mana-mana di
daerah perkotaan dan pedesaan sama. Negara ini menempatkan premi yang tinggi
pada pendidikan, dengan sejumlah besar baik belanja pendidikan swasta dan umum
sehingga meminimalisir perbandingan sekolah swasta dan umum.
Pendidikan dilihat sebagai aspek penting bagi keberhasilan dan
persaingan di Negeri Gingseng. Di negara ini terdapat lima mata pelajaran
utama, yaitu matematika, sains, bahasa Korea, studi sosial, dan bahasa Inggris.
Biasanya pendidikan fisik atau olahraga dianggap tidak terlalu penting, makanya
banyak sekolah yang tidak memiliki gelanggang olahraga yang layak. Korea
Selatan adalah negara pertama di dunia yang memberikan akses internet
berkecepatan tinggi di setiap sekolah.
Pembelajarannya menerapkan teknologi tinggi, dengan yang memberikan
akses internet berkecepatan tinggi di setiap sekolah. Masyarakat Korea
menganggap guru memegang posisi yang berharga dan tinggi karena Korea
menanamkan bahwa pendidikan adalah hal yang utama. Akibatnya, Korea benar-benar
menjunjung tinggi para guru. Ada rotasi mutasi guru setelah lima tahun
mengajar. Hal ini dilakukan agar setiap guru mendapat kesempatan yang adil
untuk mengajar di berbagai sekolah.
4.
Jepang
Negara selanjutnya dalam perkembangan abad ke-21 ialah negara
Jepang. Sebuah artikel April 2010 di koran Mainichi mencatat inovasi dalam ilmu
kehidupan berbasis Pengalaman belajar di Yokohama City Science Frontier High
School pada saat yang bersamaan menyesalkan kurangnya pembangunan sistem
pendidikan nasional yang berdasarkan kemampuan atau bakat (Kathryn & Arens,
2012, hlm. 15). Pendidikan inklusi tetap menjadi dilema di Jepang, karena
sangat terkait dengan elitisme. Ini disebabkan karena budaya yang kuat bahwa
kerja keras dan usaha mengarah pada kesuksesan akademis, bukan kemampuan bawaan
(bakat).
Sebuah artikel tahun 1994 yang meneliti negara Jepang dan
negara-negara Asia lainnya mencoba untuk menyelesaikan pendidikan inklusi bahwa
pendidikan yang inklusi tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan yang
disponsori pemerintah.
Hampir tidak ada struktur formal di Jepang untuk mendukung
pendidikan siswa berbakat. Tidak ada sekolah kejuruan di Jepang. Mayoritas
sekolah bergantung pada MEXT (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) pedoman kurikulum (untuk sekolah negeri ini
wajib). Akibatnya, guru kelas memiliki sedikit sulit dalam memberikan
diferensiasi atau percepatan untuk siswa berbakat akademis. Namun, ada beberapa
contohnya praktik pendidikan individual dan adaptasi, termasuk yang ditunjuk
oleh MEXT sebagai SMA Super Science, termasuk SMA Negeri Horikawa Kyoto.
Dimulai dari dari tahun 2002 reformasi MEXT sebuah usaha dilakukan
untuk menyeimbangkan pembelajaran hafalan dengan pendidikan yang lebih
individual Yutori kyoiku (ゆとり 教育),
tetapi dengan penekanan yang ada pada persiapan ujian masuk untuk sekolah
menengah dan nilai yang lebih tinggi, ini telah terbukti sulit. Pada tahun yang
sama Japan Science and Technology Agency, bagian dari MEXT, memprakarsai Super
Science Highschool (SSH) dalam menanggapi penurunan nilai siswa dan minat dalam
matematika dan sains. Siswa yang menghadiri SSH jauh lebih mungkin untuk
berpartisipasi dalam Olimpiade Sains Internasional.
Harold Stevenson dan Jim Stigler (dalam OECD, 2011) menggambarkan
kelas seorang guru di kelas matematika di Jepang akan mengajukan masalah dan
meminta murid-muridnya untuk mengerjakannya. Saat siswa melakukannya, guru
berkeliling melihat pendekatan yang diambil oleh siswa untuk menemukan solusi
dari masalah. Setelah beberapa saat, guru akan meminta beberapa anak untuk ke
depan kelas dan menuliskan pekerjaan mereka ke papan tulis. Beberapa dari
mereka itu akan menghasilkan jawaban yang benar dan beberapa tidak. Dia akan
meminta kelas untuk menawarkan pandangan mereka mengenai jawaban yang ditulis oleh
murid di papan tulis. Dengan cara ini,
mereka akan sampai pada pemahaman matematika yang lebih dalam yang mendasari
solusin untuk pemecahan masalah dan menjadi jauh lebih mahir dalam menggunakan
matematika untuk memecahkan masalah.
Karena bidang pendidikan kejuruan sangat baru di Jepang, sebagian
besar ilmuwan Jepang melakukan penelitian tentang pendidikan kejuruan sampai
sekarang berfokus pada studi di negara lain, seperti Cina dan Korea. Pada
tingkat sekolah menengah, sekolah swasta memiliki kurikulum yang dirancang
untuk mempersiapkan siswa masuk ke sekolah menengah atas dan kemudian menuju
universitas, dan kurikulum yang lebih disesuaikan, terutama berbasis sains
tersedia bagi siswa. Untuk mereka yang bertujuan untuk menghadiri universitas,
sistem tes (o-juken) dimulai sedini mungkin sebagai pra sekolah.
Jepang bergulat dengan
tantangan tersebut dalam upayanya untuk mengembangkan yang kebijakan nasional
konferhensif yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam
mendukung sistem inovasi nasional yang layak bersaing global di abad ke-21.
BAB III
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1)
Learning to
know
atau learning to
learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya
tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar,
akan tetapi juga
harus berorientasi kepada
proses belajar. Leraning to do
lebih merujuk pada kemampuan
kerja generasi muda. Peserta didik diajarkan
untuk melakukan sesuatu dalam
situasi yang konkrit yang tidak terbatas pada
penguasaan keterampilan yang
mekanistis melainkan juga keterampil dalam berkomunikasi,
berkerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Learning to live
together menjadi pilar
belajar yang penting untuk menanamkan jiwa perdamaian. Selanjutnya, muara akhir
dari tiga pilar belajar (Learning to know, learning to do, learning to live
together) adalah learning to be, dengan pilar ini, peserta didik
berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri.
2)
Implementasi
model pembelajaran UNESCO dalam pembelajaran di Indonesia antara lain, Partners
In Learning/Belajar Dalam Berkelompok, Cooperative Learning Communities, Group
Investigation: Building Education Through The Emocratic Process, The
Philosophical Underpinnings, Orientation To The Model, Models Of Teaching, dan
Instructional and Nurturant Effects Group Investigation Model
3)
Model
pembelajaran yang dipandang efektif meningkatan hasil belajar siswa adalah model
pembelajaran Visualization, auditory, kinesthetic dan model pembelajaran
Project Citizen
4)
Kemampuan
berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang termasuk dalam
4C (Crtitical thinking, communication, collaboration, and creativity)
pembelajaran abad 21
5)
Dalam
pembelajaran abad 21 kita mengenal istilah literasi ICT yang merupakan suatu
kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai
kecakapan berpikir dan belajar peserta didik.
6)
Model
pembelajaran abad ke-21 dimana siswa diarahkan agar fleksibilitas,
interdisipliner, sadar budaya dan kolaboratif dalam belajar. Model pembelajaran
abad ke-21 di negara-negara Asia ini mengajarkan bagaimana menyikapi proses
negara yang sedang berkembang dan menyesuaikan sumber daya manusia agar siap
bersaing secara global. Jumlah lulusan sekolah yang tinggi dinilai tidak
seimbang dengan kualifikasi lulusan yang diperlukan. Secara garis besar
model-model pembelajaran di Singapura, Cina, Korea & Jepang sulit
berkembang dikarenakan masih kentalnya budaya ketimuran masing-masing negara.
Berbeda dengan budaya barat yang mampu menerima perbedaan maupun perubahan
secara serta merta. Negara Singapura, Cina, Korea & Jepang kini terus berinovasi
dalam pendidikan negaranya. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pembelajaran
dilaksanakan sesuai dengan bakat dan kemampuan siswanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Surya
dan Rosnah Siregar. 2014.“Internalisasi Karakter melalui Model Project
Citizen pada Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”. Jurnal
Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. 6(2), 132-137
Indriani, Dina.
2019. “Peranan Project Citizen terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa”.
JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. 4(2): 20-29
Mukminan. 2014.
Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pendayagunaan Teknologi Pendidikan.
UNB. Surabaya
Putri, M.M.K.;
E. Kusumo; W. Sumarni. 2017. “Keefektifan Model Pembelajaran Visualitzation,
Auditory, Kinesthetic terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Kimia”. Chemistry
in Education. 6(1), 47-53
Saleh, Baso.
2015. “Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Masyarakat di Kawasan
Mamminasata”. Junral Pekommas. 18(3), 151-160
PPTNYA
Kemudian Untuk PPTNya ada 24 Slide berikut priviewnya
EmoticonEmoticon