Makalah Pembelajaran abad 21 dan PPTnya


Makalah Pembelajaran pada abad 21 ini kami ambil dari beberapa refeerensi jurnal yang membahas mengenai pembelajaran pada abat 21. untuk anda yang membutuhkan refrensi materi ataupun makalah utuh utnuk keperluan presentasi tugas dan sebagainya silahkan di download. bersama dengan makalh ini kami beriakan pula PPT untuk keperluan presentasi. PPtnya sudah jadi bisa langsung digunakan ataupun bisa juga di edit menyesuaikan keperluan anda. 

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah تعلى. Segala pujian, permohonan pertolongan, petunjuk dan pengamampunan hanyalah tertuju pada-Nya. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah تعلى semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Alhamdulillah, atas kuasa dan izin Allah تعلى , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pembelajaran Abad 21” untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Inovasi Pendidikan Sains.
Segala bantuan, dukungan, dan bimbingan yang telah diberikan tidak dapat dibalas semunya oleh penulis. Hanya-lah do’a yang dapat dipanjatkan kepada Sang Rabbi, semoga segala kebaikkan tersebut dibalas oleh Allah تعلى dengan balasan yang terbaik.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah تعلى semoga makalah ini  dapat menjadi amal sholeh dan menjadi bekal untuk dapat mengantarkan kita semua ke jannah Firdaus-Nya., أمين.

          Palu,   Desember 2019

                                                                                      Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL                                                                                                    i
KATA PENGANTAR                                                                                                ii
DAFTAR ISI                                                                                                               iii
BAB I      PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang                                                                                       1
1.2     Rumusan Masalah                                                                                  4
1.3     Tujuan                                                                                                    5

BAB II    PEMBAHASAN
                 2.1  Kedudukan Empat Pilar UNESCO dalam Dunia Pendidikan              6
                 2.2  Implementasi Empat Pilar UNESCO dalam Dunia Pendidikan          15
                 2.3  Model Pembelajaran yang Didasari Oleh Empat Pilar UNESCO
                        yang Dipandang Efektif Meningkatkatkan Hasil Belajar Siswa          23
                 2.4  Tuntutan Pembelajaran Abad 21                                                          25
                 2.5  Inovasi Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0                                     27
                 2.6  Perkembangan Pendidikan di Negeri Tetangga                                   29

BAB III PENUTUP
                 3.1   Kesimpulan                                                                                          39

DAFTAR PUSTAKA                                                                                 



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah gaya hidup manusia, baik dalam bekerja, bersosialisasi, bermain maupun belajar. Memasuki abad 21 kemajuan teknologi tersebut telah memasuki berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali dibidang pendidikan. Guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, pendidik dan peserta didik dituntut memiliki kemampuan belajar mengajar di abad 21 ini. Sejumlah tantangan dan peluang harus dihadapi siswa dan guru agar dapat bertahan dalam abad pengetahuan di era informasi ini.
Abad 21 merupakan abad pengetahuan, abad dimana informasi banyak tersebar dan teknologi berkembang. Karakteristik abad 21 ditandai dengan semakin bertautnya dunia ilmu pengetahuan, sehingga sinergi diantaranya menjadi semakin cepat. Dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dunia pendidikan, telah terbukti dengan semakin menyempit dan meleburnya faktor “ruang dan waktu” yang selama ini menjadi aspek penentu kecepatan dan keberhasilan ilmu pengetahuan oleh umat manusia (BSNP, 2010). Abad 21 juga ditandai dengan banyaknya (1) informasi yang tersedia dimana saja dan dapat diakses kapan saja; (2) komputasi yang semakin cepat; (3) otomasi yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan (4) komunikasi yang dapat dilakukan dari mana saja dan kemana saja (Litbang Kemdikbud, 2013).
Pendidikan Nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya (BSNP, 2010).
Ciri menonjol Abad-21salah satunya adalah semakin bertautnya dunia ilmu dan teknologi, sehingga sinergi di antaranya menjadi semakin cepat. Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology / ICT) di dunia pendidikan, telah mengakibatkan semakin meleburnya dimensi “ruang dan waktu” yang selama ini menjadi faktor penentu kecepatan dan keberhasilan penguasaan manusia terhadap ilmu dan teknologi. Di Abad-21 ini kita ditantang untuk mampu menciptakan tata- pendidikan yang dapat ikut menghasilkan sumber daya pemikir yang mampu ikut membangun tatanan sosial dan ekonomi sadar-pengetahuan sebagaimana layaknya warga dunia di Abad-21. Tentu saja dalam memandang ke depan dan merancang langkah kita tidak boleh sama sekali berpaling dari kenyatan yang mengikat kita dengan realita kehidupan. (BSNP, 2010: 22)Berbagai upaya dalam rangka peningkatan mutu pendidikanpun senantiasa dilakukan, disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi, serta era yang terjadi. Dalam konteks Pendidikan di Abad-21 ini ada pihak-pihak yang menyikapinya sebagai sebuah peluang, namun ada juga yang memandangnya sebagai tantangan atau hambatan, atau cara-cara lain dalam menyikapinya, tergantung dari kemampuan  serta  cara  pandang  masing-masing.  
Abad ke-21 disebut sebagai abad pengetahuan, abad ekonomi berbasis pengetahuan, abad teknologi informasi, globalisasi, revolusi industry 4.0. Pada abad ini, terjadi perubahan yang sangat cepat dan sulit diperdiksi dalam segala aspek kehidupan meliputi bidang ekonomi, transportasi, teknologi, komunikasi, dan informasi. Perubahan yang berlangsung sangat cepat ini dapat memberikan pelung jika dimanfaatkan dengan baik, tetapi juga dapat menjadi bencana jika tidak diantipasi secara sistematis, terstruktur, dan terukur. Salah satu contoh dari perubahan yang sangat cepat ini adalah dalam bidang teknologi informasi, khususnya media social.
Perubahan kondisi, social, ekonomi, politik dan budaya, meningkatnya pergerakan migrasi manusia, proges globalisasi, digital-based information dan teknologi komunikasi, knowledge-based economy dan sebagainya memasuki abad ke-21 mengindikasikan tantangan kehidupan manusia semakin tinggi dan kompleks.
P21 (Partnership for 21st Century Learning) mengembangkan framework pembelajaran di abad 21 yang menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir (P21, 2015). Framework ini juga menjelaskan tentang keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai agar siswa dapat sukses dalam kehidupan dan pekerjaanya.
Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk SDM yang berkualitas. Peningkatan SDM perlu ditangani oleh sistem pendidikan yang baik, pengelola yang profesional, tenaga guru yang bermutu, sarana belajar dan anggaran pendidikan yang cukup. Pendidikan memiliki spektrum masa depan  yang  luas  dan  seimbang  sehingga  harapan  masyarakat  terhadap pendidikan terpenuhi, dan manusia Indonesia seutuhnya dapat diwujudkan. Pendidikan harus dibawa dalam rangka mengoptimalkan kemampuan peserta didik untuk memiliki sifat kreatif, kritis dan tanggap terhadap masalah kehidupan.
Untuk itu UNESCO (The International Commission on Education for the Twenty-first Century) memandang penting adanya perubahan paradigm pendidikan sebagai instrument ke paradigm sebagai pengembangan manusia seutuhnya (all-rounded human beings). Berdasarkan hal tersebut empat pilar pendidikan UNESCO meliputi belajar untuk memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya (learning to know), belajar untuk memiliki kompetensi dasar dalam berhubungan dengan sitasi dan tim kerja yang berbeda-beda (learning to do), belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab pribadi (learning to be), dan belajar untuk mampu mengapresiasikan dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, memahami dan perdamaian intern antar bangsa (learning to live togather).
Oleh sebab itu pembelajaran menggunakan pendekatan empat pilar Pendidikan UNESCO, murid akan termotivasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,   pengalaman,   dan   keterampilan   berpikir   yang   logis   dan sistematis, sehingga suasana proses belajar mengajar menjadi kondusif, komunikatif dan tercipta hubungan harmonis antara guru dan peserta didik.
Selain itu pula, siswa akan belajar untuk mengetahui dan  memunculkan pengetahuan yang ada pada siswa, belajar untuk berbuat dan memunculkan kreasi siswa yaitu berupa praktek, belajar untuk menjadi diri sendiri dan menjadikan siswa mempunyai bakat dan minat, dan belajar untuk hidup bersama membiasakan saling menghargai, terbuka serta memahami perbedaaan satu sama lain.
Dengan demikian, maka pendidikan akan menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya.

1.2    Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut.
1.        Bagaimana kedudukan empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan?
2.        Bagaimana implementasi empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan?
3.        Apa model pembelajaran yang didasari oleh empat pilar UNESCO yang dipandang efektif meningkatkatkan hasil belajar siswa?
4.        Apa saja tuntutan pembelajaran abad 21?
5.        Bagaiamana inovasi pendidikan era revolusi industri 4.0?
6.        Bagaimana perkembangan pendidikan di negeri tetangga?










1.3    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.      Menjabarkan kedudukan empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan Indonesia
2.      Menerangkan implementasi empat pilar UNESCO dalam dunia pendidikan Indonesia
3.      Menganalisis model pemebelajaran yang didasari oleh empat pilar UNESCO yang dipandang efektif meningkatkan hasil belajar siswa
4.      Menerangkan tuntutan pembelajaran abad 21
5.      Menjabarkan invoasi pendidikan era revolusi industry 4.0
6.      Menerangkan perkembangkan pendidikan di negeri tetangga


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Empat Pilar UNESCO
Pendidikan  merupakan  sarana  yang  sangat  strategis  dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan  tidak  hanya  memberikan  pengetahuan  dan  pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian  peserta didik.  Hal  ini  dikarenakan  perkembangan  komunikasi, informasi   (baik   melalui   media   cetak   maupun   elektronik)   tidak   selalu membawa pengaruh positif   bagi peserta didik. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Untuk    mewujudkan    pencapaian    tersebut,    maka    pengimplementasian pendidikan harus didasarkan pada empat pilar pendidikan UNESCO yang memiliki  prinsip learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be.
a)        Learning to know
Learning to know adalah  bagian  dari  proses  pembelajaran  yang memungkinkan pelajar/mahasiswa- nya untuk tidak sekedar memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai  teknik  memperoleh  pengetahuan tersebut.  Pilar  ini  berpotensi  besar untuk  mencetak   generasi   muda  yang  memiliki   kemampuan   intelektual   dan akademik yang tinggi.
Learning  to  know  atau  learning  to  learn  mengandung  pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil  belajar,  akan  tetapi  juga  harus  berorientasi  kepada  proses  belajar. Dengan  proses  belajar,  siswa  bukan  hanya  sadar  akan  apa  yang  harus dipelajari, akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari itu.
Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara  implisit,  learning  to know bermakna  belajar  sepanjang  hayat  (Life  long education).  Asas  belajar  sepanjang  hayat  bertitik  tolak  atas  keyakinan  bahwa proses  pendidikan  dapat  berlangsung  selama  manusia  hidup,  baik didialam maupun di luar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup, berlangsung  seumur  hidup,  maka  peranan  subjek  manusia  untuk mendidik  dan mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia. Dengan  kebijakan  tanpa batas  umur  dan batas  waktu  untuk belajar,  maka  kita mendorong  supaya  tiap  pribadi  sebagai  subjek  yang bertanggung  jawab  atas pedidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
1)        Proses    dan  waktu    pendidikan    berlangsung    seumur    hidup    sejak    dalam kandungan hingga manusia meninggal.
2)        Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
3)        Belajar / mendidik  diri  sendiri  adalah  proses  alamiah  sebagai  bagian  integral/totalitas kehidupan
Guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki  tugas  dan tanggung jawab  membentuk  karakter  generasi  bangsa.  Di tangan gurulah tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu  memberikan  yang terbaik  untuk  anak  negeri  ini  di  masa  yang akan datang.
Guru  memiliki  peranan  yang sangat  penting  dalam  menentukan  kuantitas  dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan  secara  saksama  dalam  meningkatkan  kemampuan belajar bagi siswanya, dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar.
Guru   bisa   dikatakan   unggul   dan  profesional   bila   mampu  mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak bergantung pada orang lain.
Konsep  learning  to know ini  menyiratkan  makna  bahwa pendidik  harus  mampu berperan sebagai berikut:
a)        Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran   ini   berkaitan   penting   dengan  penguasaan   materi   pembelajaran. Dikatakan  guru  yang baik  apabila  ia  dapat menguasai  materi  pembelajaran dengan baik,  sehingga  benar-benar  berperan  sebagi  sumber  belajar  bagi anak didiknya.
b)        Guru  sebagai Fasilitator
Guru berperan  memberikan pelayanan  memudahkan siswa dalam  kegiatan proses pembelajaran.
c)        Guru sebagai pengelola
Guru  berperan  menciptakan  iklim  blajar  yang memungkinkan  siswa  dapat belajar  secara  nyaman. Prinsip-prinsip  belajar  yang harus  diperhatikan  guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
Ø  Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
Ø  Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
Ø  Siswa   akan   belajar   lebih   banyak,   apabila   setiap   selesai   melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
Ø  Penguasaan secara penuh.
Ø  Siswa  yang diberi  tanggung jawab,  maka  ia  akan  lebih  termotivasi  untuk belajar.
d)       Guru sebagai demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat   siswa    lebih    mengerti    dan   memahami    setiap    pesan    yang disampaikan.

e)        Guru sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan.  Perbedaan  inilah  yang menuntut guru  harus  berperan  sebagai pembimbing.
f)         Guru sebagai mediator
Guru  selain  dituntut  untuk memiliki  pengetahuan tentang media  pendidikan juga  harus  memiliki  keterampilan  memilih  dan menggunakan  media  dengan baik.
g)        Guru sebagai Evaluator
Yakni  sebagai  penilai  hasil  pembelajaran  siswa.  Dengan  penilaian  tersebut, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap  pelajaran,  serta  ketepatan/  keefektifan  metode mengajar
Learning  to  know  dilakukan  dengan  cara  memadukan  penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut:
Ø  Diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi dan merespon sumber informasi baru
Ø  Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran
Ø  Network society
Ø  Learning to learn dan life long education.

b.  learning to do (belajar untuk melakukan)
Sasaran  dari  pilar  ke  dua ini  adalah  kemampuan  kerja  generasi  muda. Peserta didik  diajarkan  untuk melakukan  sesuatu  dalam  situasi  yang konkrit  yang tidak terbatas   pada  penguasaan   keterampilan   yang  mekanistis   melainkan   juga keterampil dalam berkomunikasi, berkerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik.   Melalui   penerapan   pilar   kedua   ini,   dimungkinkan   mampu  mencetak generasi baru yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk  terampil  berbuat/  mengerjakan  sesuatu  sehingga  menghasilkan  sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja    generasi    muda   untuk   mendukung    dan  memasuki    ekonomi    industry.
Dalam  masyarakat industri  tuntutan tidak lagi  cukup  dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring, designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang  tidak   hanya   terbatas   pada  penguasaan   ketrampilan   yang  mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola  dan mengatasi  suatu  konflik. 
Learning to do akan bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi para peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan individu kedepannya.
Sekolah  sebagai  wadah masyarakat  belajar  hendaknya  memfasilitasi  siswanya untuk  mengaktualisasikan  ketrampilan  yang dimiliki,  serta  bakat  dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan  datang.  Sedangkan  minat  adalah  kecendrungan  dan kegairahan  yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:

1)   Lingkungan social adalah   masyarakat   dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
2)   Lingkungan nonsosial, faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan  cuaca. Faktor-faktor  ini  dipandang  turut   menentukan  tingkat keberhasilan belajar siswa. Sekolah  juga  berperan  penting  dalam  menyadarkan  peserta  didik  bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.
Learning to do yaitu proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna “Active Learning”. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Menurut John Dewey bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan:
1) Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif,
2) Keterampilan proses,
3) Problem solving approach,
4) Pendekatan inkuiri,
5) Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan
6) Bimbingan sebagai bagian dari mengajar.
Beberapa bentuk Active Learning; kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer)   yang   mengarahkan   pada   pembahasan   materi   pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga  memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang disintesis dari materi  yang telah dipelajari.
Learning to do mengandung prinsip berikut:
Ø  Menjembatani pengetahuan dan keterampilan
Ø  Memadukan learning by doing dan doing by learning
Ø  Mengkaitkan pembelajaran dengan kompetensi
Ø  Mengkaitkan psikologi pembelajaran dengan sosiologi pembelajaran.

c.  learning to live together  (belajar bersama dengan orang lain)
Di  zaman  yang semakin  kompleks  ini,  berbagai  konflik  makin  merebak  seperti, konflik  nasionalis,  ras,  dan konflik  antar  agama.  Apapun  penyebabnya,  semua konflik itu didasari oleh ketidak mampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima  suatu  perbedaan.  Itulah  sebabnya,  Learning  to live  together  menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa perdamaian.
Kerjasama akan membangun motivasi para siswa, mereka dapat lebih bergairah untuk  belajar,  karena  mereka  dapat mengaktualisasi  diri,  ketika  motivasi  itu berkembang  dan motivasi  yang terbangun  secara  internal,  akan  memberikan satu kekuatan yang meningkatkan tujuan dari maksud pembelajaran tersebut.

d.  learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri)
Makna dari pilar ini adalah muara akhir dari tiga pilar belajar (Learning to know, learning to do, learning to live together). Dengan pilar ini, peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep  learning  to be perlu  dihayati  oleh  praktisi  pendidikan  untuk melatih  siswa agar  memiliki  rasa  percaya  diri  yang  tinggi.  Kepercayaan  merupakan  modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010).  Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus “berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan dengan orang lain. Menguak kekayaan tak ternilai dalam diri.
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be).  Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah  yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri. Belajar menjadi seseorang, mengembangkan kepribadian dan kemampuan untuk bertindak secara mandiri, kritis, penuh pertimbangan serta bertanggung jawab. Dalam hal ini pendidikan tak bisa mengabaikan satu aspek pun dari potensi seseorang seperti ingatan, akal sehat, estetika,  kemampuan  fisik  serta ketrampilan berkomunikasi.  Telah banyak diakui bahwa sistem pendidikan formal saat ini cenderung untuk memberi tekanan  pada  penguasaan  ilmu  pengetahuan  saja  yang  akhirnya  merusak bentuk belajar yang lain. Kini telah tiba saatnya untuk memikirkan bentuk pendidikan secara menyeluruh, yang dapat menggiring terjadinya perubahan- perubahan kebijakan pendidikan di masa akan datang, dalam kaitan dengan isi maupun metode.
Jenis belajar ini mendidik peserta didik agar dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan tumbuh menjadi diri sendiri, diri yang mandiri dan diri yang bermanfaat bagi lingkungannya; tujuannya agar membentuk pribadi yang berkarater kuat tidak mudah goyah oleh arus pergaulan.
Di dalam learning to be ini mengandung prinsip sebagai berikut:
Ø  Berfungsi  sebagai  andil  terhadap  pembentukan  niali-nilai  yang  dimiliki bersama
Ø  Menghubungkan antara tangan dan pikiran, individu dengan masyarakat pembelajaran kognitif dan non-kognitif serta pembelajaran formal dan non- formal.
Pada learning to be ini ditekankan pada pengembangan potensi insani secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati diri,   memahami   kemampuan   dan   kelemahannya   dengan   kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi yang utuh.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).

C.  GARIS BESAR MENGENAI KE EMPAT PILAR PENDIDIKAN UNESCO
1. Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik  tidak  hanya  diajarkan  IPTEK,  kemudian  dapat bekerja  sama  dan memecahkan   masalah,   akan   tetapi   juga   hidup   toleran   dengan  orang   lain ditengah-tengah   maraknya   perbedaan   pendapat  dimasyarakat.   Dengan   ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
2. Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu  diingat,  masih  banyak  aspek  penghalang  dalam  pelaksanaan  tersebut, seperti  kurangnya SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap  masyarakat  atau daerah  dalam  memandang arti  penting  pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
3.    Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka  pada gilirannya  masyarakat  Indonesia  akan  menjadi  masyarakat  yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
4.    Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud.   Bisa   jadi   akan   muncul   sikap   pesimis   dan  putus   asa   kehilangan kepercayaan diri.

2.2    Implementasi Empat Pilar UNESCO
A.      Partners In Learning/Belajar Dalam Berkelompok
Skenario 1
Humaira  membuka  tahun  ajaran  barunya  pada  kelas  10   dengan memberi tugas presentasi kepada siswanya 12 puisi yang diseleksi dari 100 puisi yang ada. dia membagi siswanya berpasangan, menyuruh mereka membaca dan mengklasifikasi puisi berdasar stuktur, bentuk dan tema., mereka bekerja sama dalam mengklasifikasi puisi, saling menyiapkan untuk saling berdiskusi di antara mereka dalam bentuk group, saling berdebat, kemudian proses model pembelajaran ini diikuti dengan beberapa tugas lain yang masih berhubungan, yaitu  satu  ditugasi  memutuskan  tema-tema  yang saling  berhubungan  satu sama  lain  secara  gaya  dan struktur   .  yang  lainnya  membangun  hipotesis tentang bagaimana  penulis  puisi  megkombinasikan  antara  gaya  dan tema serta struktur  puisi mereka.
Humaira mengorganisir kelasnya dalam metode belajar berpasangan (partnership based  learning).  tugas  ini  membangun tidak  saja  pengetahuan kognitif  siswa tapi  juga  mempersiapkan  siswa  untuk  menaikkan  kerjasama  dalam  belajar siswa  berikutnya.  Menulis  puisi  atau belajar  tentang cerita  pendek  menjadi tingkat pembelajaran selanjutnya.

Skenario 2
Aisyah, mengajar di kelas 5 . pada hari pertama tahun ajaran baru, dia membuka  kelas  dengan tersenyum  dan mengajak  siswanya  untuk  belajar tentang semua nama mereka dan dia mengatakan bahwa kita akan saling bekerja sama sepanjang tahun. “Let’s star by learning al our names and one of the ways we will be working together this year”.
Dia membagi meja dengan siswa yang berpasangan sebagai partner bekerja hari itu. Kelly menyuruh siswanya yang sudah terbagi sebagai patner tersebut untuk   bekerja   sama   membuat  klasifikasi   nama-nama   temannya   dalam beberapa kategori .
Dalam  beberapa  menit  mereka  sudah  dapat mengklasifikasi  nama-nama teman  mereka,  sebagai  contoh,  mereka  menempatkan  Adi  dan  Abdi bersama karena mempunyai huruf  Y pada akhir nama mereka, menempatkan Fajar dan Virgian bersama karena nama mereka terdengar sama pada awal kata.
Aisyah sudah memulai tahun ajaran barunya dengan mengorganisasi kerjasama siswa nya dalam bentuk metode belajar kooperatif “ cooperative set”
B.       Tujuan Cooperative Learning Communities (Model Pembelajaran Kooperatif Dalam Kelompok)
1.        Sinergi  dari  model  kerjasama  ini  bisa  lebih  memotivasi  siswa  dari  pada bekerja   belajar   sendirian,   menciptakan   iklim   kompetitif,   meningkatkan integrasi sosial, perasaan saling berkoneksi membangun energi yang positif.
2.        Para anggota saling bekerjasama dalam grup satu sama lain, setiap pelajar saling Bantu bahu membahu menbantu.
3.        Interaksi sesama, membangun kemampuan kognitif sama baiknya dengan kemampuan bersosial. Menciptakan lebih banyak activitas intelektual yang meningkatkan  proses  belajar  jika  dibandingkan  mereka  belajar  secara individu (solitary study).
4.        Kerjasama juga meningkatkan positif feeling terhadap sesama , mengurangi keterasingan,     kesepian,     membangun    hubungan    ,     meningkatkan pandangan yang baik terhadap orang lain.
5.        Kooperatif    system    meningkatkan    percaya    diri    (self    estem)    bukan saja meningkatkan  kemampuan  belajar  tapi  juga  meningkatkan  feeling atau  perasaan   dihargai   ,   diperhatikan   oleh   orang   lain   yang   ada disekitarnya.
6.        Pelajar atau para siswa dapat merespon pengalamannya dalam tugas ini, mengembangkan  kapasitas  kerjanya  agar  lebih  produktif,  atau dengan kata lain, pelajar yang diberi kesempatan bekerja bersama akan lebih baik mendapatkan manfaat untuk kemampuan umum mereka bersosial .
7.        Pejajar, termasuk anak sekolah dasar dapat belajar membangun kemampuannya bekerja sama.

C. Cara Membangun Kerjasama
1. Training for Cooperation (Model Pembelajaran Kooperatif)
Jumlah   proporsi   siswa   dalam   grup   dapat  menentukan   berjalan   atau tidaknya suatu kerjasama. Kebanyakan siswa mudah untuk berkerjasama ketika tugas yang diberikan tersebut telah jelas, bagaimanapun pengembangan cara yang lebih efisien yang lebih jelas itu sangat penting. Ada beberapa cara untuk menolong pelajar   agar   lebih   praktis   dan  efisien,   dalam   bentuk   besar   grup, keragamannya dan prakteknya.
Bila siswa belum berpengalaman dalam bekerja sama maka tempatkan mereka dalam jumlah yang kecil saja. Jumlah grup yang terdiri dari 2, 3 atau4 biasanya yang paling umum digunakan. Jumlah anggota yang lebih dari 6 orang biasanya jadi kaku dan membutuhkan kemampuan kepemimpinan dimana siswa tidak dapat bekerja sama satu sama lain, bila mereka tidak berpengalaman

2.   Training for Efficiency (Belajar Efisiensi)
Kagan  telah  mengembangkan  beberapa  cara  prosedur  pembelajaran pada siswa  dimana  kerjasama  menjadi  tujuan, dimana  semua  siswa berpartisipasi secara equal, dalam menjalankan tugas.
Sebagai  contoh ketika  ada group  yang ter  diri  dari  3  orang  diberi  tugas, maka,  harus  ada pembagian  tugas  yang merata  agar,  masing-masing siswa  saling  bekerja  dan melengkapi,  ada  yang menjadi  pembicara,  ada yang  menulis, ada   yang  mencari   jawaban   yang  benar   atau  yang mengecek untuk jawaban bagi temannya sebagai pembicara.

3.    Training For Interdepence (Belajar Saling Membutuhkan)
Belajar  untuk saling  membutuhkan  adalah  penting  dalam  berkerja  sama, agar kerjasama bias saling efisien dan berperoses. Dengan saling membutuhkan akan timbul empaty, sehingga sebuah grup ini akan dapat berjalan  dinamis,  tercipta  suasana  yang berkembang  dan bertanggung jawab.

4.   Division of Labor: Specialization (Pembagian Kerja)
Pembagian kerja merupakan prosedur untuk membantu siswa belajar bagaimana  saling  membantu diantara  mereka.  Setiap  siswa  memdapat kewajiban yang sama, sebagai contoh sebuah kelas sedang mempelajari tentang Africa, dibagai grup yang terdiri dari 4 orang siswa, 4 negara dipilh untuk dipelajari, satu anggota dari tiap anggota grup di beri tugas mencari tentang Negara tersebut, ada yang meringkasnya,ada yang menjadi tutor, ada yang mendapat tugas mengingatkan semua aspek data.
Prosedur ini disebut jigsaw, dengan demikian para siswa diajak untuk meningkatka kemampuannya , keterampilannya dalam pembagian tugas dan bekerja sama.

5. Kerjasama dan Motivasi
Kerjasama  akan  membangun  motivasi  para  siswa,  mereka  dapat lebih bergairah untuk belajar , karena mereka dapat mengaktualisasi diri, ketika motivasi itu berkembang dan motivasi yang terbangun secara internal , akan memberikan satu kekuatan yang meningkatkan tujuan dari maksud pembelajaran tersebut.

D. Group Investigation: Building Education Through The Emocratic Process (Membangun Pembelajaran Melalui Proses Demokrasi)
Skenario 3
Abdullah adalah guru   kelas   11    mengajar   mata  pelajaran   georgrafi memberikan data dari Komputer tentang 177 negara yang ada di dunia, setiap grup yang terdiri dari 4  siswa mennganalisa 20  negara, dan mencari korelasi antara  populasi,  perdapatan  perkapita,  angka  kelahiran,  angka  harapan hidup,     produksi     pertanian,     industri,     transportasi     system,     pelayanan kesehatannya, hak-hak perempuan, dan hasil bumi tiap negara tersebut.
Grup-grup   tersebut   akhirnya   mengemukakan   banyak   pendapat  setelah mereka   menganalisa   data-data   yang  ada   tiap   Negara,   seperti,   pada beberapa Negara yang harapan hidupnya terpaut kurang sampai 20  tahun dibanding negera yang lain, bahwa Negara yang kaya mempunyai  fasilitas militer  yang lebih  baik  disbanding  Negara  yang miskin  yang lebih mengutamakan   pelayanan   kesehatan,   bahwa   hak   asasi   wanita   tidak berhubungan dengan type suatu Negara, dan lain-lain.
Setelah semua analisa selesai dilakukan oleh para grup, Abdullah secara hati-hati mencatat semua hasil reaksi penganalisaan mereka dan mereka memutuskan untuk membaw semua hasil data dan kesimpulan yang mereka dapat dari hasil diskusi, mereka juga memutuskan bahwa apa  yang mereka butuhkan untuk membuat sebuah  hipotesis  atas  data  yang mereka  dapat.  Ada  siswa  yang ingin  tahi  tentang pengaruh  dan hubungan antara  organisasi  dunia / WHO dengan Negara-negara yang menjadi anggotanya.
Ketika  begitu  pertanyaan  danb kesimpulan  yang beraneka  ragam  timbul, maka guru mengajak mereka untuk meinvetarisir kembali, memprioritaskan apa yang ingin mereka gali kembali dan membagi kembali tugas tersebut.
Inilah yang dimaksud membangun pembelajaran dalam kelompok secara demokratis.  Proses  demokratis  dalam  bentuk  kelompok  pembelajaran walaupun  memang sulit  karena  dibutuhkan  seorang  guru  yang mempunyai standard  qualifikasi  dan keterampilan  yang tinggi.  Walaupun  agak  sulit  dan menakutkan karena para gurum orang tua dan kepala sekolah malah menganggap metode ini malah akan jadi mandek.
Tapi   bagaimanapun   juga   metode  ini   harus   dicoba,   untuk  membangun kapasitas building belajar para siswa, agar menjadi lebih kreatif dan mandiri. Dipandu oleh guru-guru yang berpengalaman

E. The Philosophical Underpinnings (Dasar Filosofi)
Dasar filosofi dalam pengembangan model demokrasi proses ini adalah John Dewey yang menulis “who wrote how we think tahun 1910, kemudian banyak teori yang kemudian muncul, membahas teori ini, seperti tahun 1920 Charles Hubbard Judd yang menekankan pengetahuan akademis. Willian Heard Kilpatrick, yang beberapa tahun memjadi pembicara untuk progressive movement, menekankan social problem solving . George Counts menekankan tidak hanya problem solving tapi juga konstruktif masyarakat, tapi kemudian teori yang paling mendekati tentang demokrasi proses ini dibuat oleh Gordo H Hullfish dan Phillip G smith dalam buku Reflective thingking : Methode of Education, kedua penulis ini memberikan tekanan pada peran pendidikan dalam membangun kapasitas mengembangkan cara mengolah informasi dan konsep, nilainya dan kepercayaan.
Esensi fungsi dari demokrasi adalah dengan membahas definisi masalah, dan situasi masalah tersebut. Kemampuan membahas dengan orang lain atau bertukar pikiran dengan orang lain akan membatu seseorang dapat bertukap pikiran dengan dunianya.

F. Orientation To The Model
1. Goals and assumption
John Dewey (1916)  merekomendasi agar seluruh sekolah diorganisir sebagai miniature   demokrasi,   siswa-siswa   berpartisipasi   dalam   mengembangkan sosial   system,   melalui pengalaman, secara berkesinambungan belajar dengan  metode sains  untuk  mengembangkan  sosial  masyarakat  dewey berpendapat   untuk   mempersiapkan   warga   Negara   yang   demokrasi, sehingga metode ini di gunakan untuk mewujudkannya.
John  U  Michaelis  (1980)   kemudian  menyari  dari  formulasi  dewey  dalam mengajar siswa sekolah dasar. Pusat dari metode belajar ini sebagai kreasi dalam demokrasi grup dalam mengatasi masalah sosial secara siqnifikan

G. Models Of Teaching
Pada Chapter 1 . part 1 buku Models of teaching, dijelaskan  bahwa social  models  mengkombinasi  antara  belajar  (learning)  dan masyarakat  (society)  .  kedudukannya  kearah  pengajaran  dengan prilaku  yang kooperatif (cooperative behavior) menstimulasi tidak hanya secara social tapi juga intelektual,   dan  karenanya   tugas   interaksi   social   dapat  di   desain   untuk meningkatkan studi akademik.
Sesuai  dengan penekanan  dan titik  beratnya  aplikasi  model  ini  adalah  untuk mengembangkan kecakapan individu pelajar dalam berhubungan dengan orang lain  atau masyarakat.  Individu  siswa  dalam  hal  ini  dihadapkan  oleh  grtu  dalam situasi yang demokratis didorong untuk berprilaku produktif dalam bermasyarakat. Salah  satu  model  yang  mengutamakan  interaksi  antara  siswa  dalam  situasi demokratis adalah model mengajar role playing karena  banyak  teori  social  yang tidak  hanya  berpotensi  meningkatkan kemampuan  rasional  siswa  tapi  juga  juga  sudah  menerbitkan  pertanyaan  serius adu kuat bentuk pendidikan yang sudah ada disekolah.
1.  Syntax (Langkah-Langkah)
Dimulai   dengan melempar   masalah  secara  konfrontasi,  masalah  dapat secara  verbal  maupun pengalaman  ,  sehingga  siswa  dapat terstimulasi bereaksi,  mereka  menjadi  lebih  interes  dalam  berbagai  reaksi  terhadap permasalahan  yang dihadapi,  siswa  kemudian  mengadakan  analisis  data dan  masalah   ,  membahas   dan  membuat laporannya,   akhirnya   setiap kelompok  mengevaluasi  tujuan  yang mendasar.  Jadi  terdapat  siklus  mulai dari  mengulang  sendiri,  konfrontasi  terhadap  yang lain  dengan problem yang baru dan berkembang menjadi sesuatu siklus activitas yang mandiri.
Fase 1.   awalnya siswa masih bingung terhadap situasi banyak masalah yang muncul
Fase 2.   siswa menyelidiki reaksi yang muncul dalam situasi tersebut
Fase 3.   siswa   memformulasi   tugas   dan mengorganisasi   tugas   (masalah, definisi, tugas)
Fase 4.   mendiskusikan secara mandiri dalam grup
Fase 5.   siswa analisis progres dan proses
Fase 6.   siklus aktivitas

SUPORT SISTEM
Dalam     merancang     kelompok     pembelajaran     sekolah     membutuhkan perpustakaan   yang  baik   yang  dapat   menyediakan   berbagai   informasi yang dibutuhkan  siswa,  mereka  harus  distimulasi  untuk selalu  mencari  ilmu pengetahuan.
H.  Instructional and Nurturant Effects Group Investigation Model/ Model Kelompok Pembelajaran
Model pembelajaran ini cukup menyeluruh dan serba guna, dapat meramu tujuan akademik, social integrasi, social proses learning. Dengan model pembelajaran berkelompok akan dihasilkan:
1)        Rasa menghargai terhadap orang lain dan dapat menerima semua perbedaan (pruralism) yang ada (respect for dignity of all and commitment to prulism)
2)        Mempunyai kepercayaan diri sebagai seorang pelajar yang memang tugasnya adalah belajar (independence as a learner)
3)        kesanggupan bersosial (commitment to Social )
4)        mempunyai kepribadian yang hangat (interpersonal warmth and affiliation)
5)        kostruksi bagaimana kita memandang ilmu pengetahuan
6)        kedisiplinan dalam mencari
7)        efektivitas proses pembelajaran kelompok dan kepemimpinan

2.3    Model Pembelajaran yang Didasari oleh Empat Pilar UNESCO yang Dipandang efektif Meningkatkatkan Hasil Belajar Siswa
1.        Model pembelajaran Visualization, auditory, kinesthetic
Model pembelajaran ini memperhatikan perbedaan gaya belajar siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa aktif dalam pembelajaran salah satuna adala model pembelajaran visualization, auditory, and kinesthetic (VAK). Model pembelajaran VAK meruapakan model pembelajaran yang mengembangkan cara belajar dengan memaksimalkan alat indera untuk memberikan makna terhadap pengalaman belajar siswa. Pengalam belajar secara langsung dengan melihat (visual), mendengar (auditori), dan bergerak, bekerja, dan menyentuh (kinestik).
Melalui optimalisasi alat indera, siswa memperoleh pengalaman langsung untuk menambah kekuatan mencari, menyimpan, dan menerapkan konsep. Siswa dapat terlibat aktif dalam menemukan dan memahami suatu konsep melalui kegiatan fisik. Proses pembelajaran akan terasa menyenangkan dan hasil belajar siswa akan meningkat.
Putri, dkk., (2017) yang menerapkan metode VAK terhadap kelas XI IPA berjumlah 91 siswa dengan teknik cluster random sampling melaporkan bahwa rerata nilai posttest kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas control. Rerata posttest dan ketuntasan belajar yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dikarenakan pembelajaran dengan VAK menekankan adanya keterlibatan panca indra. Siswa ditayangkan beberapa video yang berkaitan dengan materi hidrolisis garam kemudian siswa secara berkelompok menganalisis tayangan video tersebut. Selain itu pula, hasil belajar ranah sikap kelas eksperimen memiliki delapan aspek berkriteria tinggi, sedangkan kelas control enam aspek berkriteria tinggi. Hasil belajar ranah keterampilan siswa pada kelas eksperimen memenuhi lima aspek yang berkretria tinggi, sedangkan kelas control memiliki tiga aspek berkriteri tinggi.
Penggunaan audio-visual  dapat menjadikan pembelajran lebih menarik karena dapat memperkuat ingatan siswa dan mendorong siswa untuk menggunakan banyak alat indera. Model pembelajaran ini dapat menjadikan siswa lebih aktif dan terlibat langsung dalam mencari informasi mengenai materi.
2.        Model pembelajaran Project Citizen
Model pembelajaran ini adalah satu bentuk pembahuruan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran model ini berbasis masalah yang disajikan dan dipecahkan dalam bentuk praktik belajar. Peserta didik akan dihantarkan untuk terlibat secara tidak langsung dalam penyelesainan suatu masalaah. Pembelajaran proyek dengan mengendapnkan pemecahan amsalah sangat penting diterapkan. Peserta didik akan lebih mampu menerapkan pengetahuan yang diperolehnya di dunia pendidikan untuk diterapkan dalam kehiduapannya.
Project Citizen pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat yang untuk pertama kalinya diterapkan pada mata pelajaran Civic dengan tujuan untuk lebih mengoptimalkan pembeljaran.
Budimansyah (2010) mengemukakan bahwa model ini memiliki focus pengembangan pada civic knowledge (pengetahuan kewarganegaran), civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), civic disposition (karakter kewarganegaraan), civic skills (keahlian kewarganegaraan), civic commitment (komitmen kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewarganegaraan), yang bermuara pada berkembangnya well-informed, reasoned and responsible decision making (kemampuan mengambil keputusan berwawasan, bernalar, dan bertanggung jawab).

2.4    Tuntutat Pembelajaran Abad 21
Kemampuan belajar dan inovasi merupakan salah satu kunci penting untuk menguasi berbagai kemampuan lainnya. Kemampuan ini terbagi menjadi 3 yang meliputi kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (expert hinking), komunikasi dan kolaboruasi  (complex communicating), kreativitas dan inovasi (applied imagination an invention). Melalui 3 kemampuan tersebut maka berbarengan dengan empat pilar UNESCO dipandang mampu untuk menjawab tuntutat pembelajaran abad 21.
Hubungan antara kemampuan berpikir kritis pada masa ini jelas sangat dibuthkan apalgi dengan pembelajaran abad 21 menuntut manusia agar memiliki kemampuan berpikir yang baik. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupana. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis ini menjadi sangat penting sifatnya dan harus ditanamkan sejak dini baik di sekolah, di rumah mapun di lingkungan masyarakat. Dalam proses pemebalajran untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan berpikir secara aktif. Hal ini berarti proses pembelajaran yang optimal membutuhkan pemikiran kritis dari si pembelajar. Oleh karena itu, berpikir kritis sangat penting dalam proses kegiatan pembelajaran.
Berpikir kritis merupakan proses berpikir intelektual di mana pemikir dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran menggunakan pemikiran yang reflektif, independen, jernih, dan rasional.
Seorang yang belajar matematika diharapkan dapat berkembang menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan kreatif untuk menjamin bahwa dia berada pada jalur yang benar dalam memecahkan persoalan matematika yang dihadapi atau materi matematika yang sedang dipelajarinya, serta menjadmin individu kritis dalam mempelajari matematika.
Santock (2007) menyatakan bahwa jika seroang murid berpikir kritis maka akan melakukan hal-hal dibawah ini:
1.        Menanyakan bagaiaman dan mengapa bukan hanya apa yang terjadi
2.        Menari bukti bukti yang mendukung suatu fakta
3.        Beradu pendapat dengan cara yang masuk aka, bukan dengan emosi
4.        Mengenali bahawa kadang-kadang ada lebih satu jawaban atau penjelasan
5.        Membadnignkan jawaban-jawaban yang beragaman dan menentukan mana yang terbaik
6.        Mengevaluasi apa yang dikatakan orang lain, alih-alih menerima begitu saja sebagai kebenaran
7.        Menanyakan pertanyaan-pertanyaan dan berani berspekulasi untuk menciptakan ide-ide dan informasi-informasi baru.
Dengan demikian kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang termasuk dalam 4C (Crtitical thinking, communication, collaboration, and creativity) pembelajaran abad 21. Kemampuan 4C adalah kemampuan penting sesuai kemampuan abad 21. Kemampuan berpikir krtis dapat dikembangkan dan dirangsang melalui pembelajaran, terutama pembelajaran yang berbasis tema serta maslaah. Sangat sesuai jika diterapkan pada kurikulum yang diugnkan saat ini. Guru hendaknya berorientasi pada perolehan pengetahuan bukan pada produk pengetahuan. Agar siswa mampu berpikir kritis, maka dalam menyiapkan pembelajarn guru menranang pembelajaran yang menantang siswa, menarik serta dapat menggunakan berbagai metode dan model salah satunya adalah Problem solving. Member pertanyaan yang tepat serta merancang pertanyaan yang analitis dapat dipilih guru sehingga kemampuan berpikir siswa dapat meningkat, jadi tidak hanya ranaah berpikir tingkat rendah namun juga ranah berpikir tingkat tinggi siswa dapat terasah.

2.5    Invoasi Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0
Perkembangan teknologi internet memberikan nuansa sistem pendidikan jarak jauh yang lebih terbuka lagi. Sistem pembelajaran yang berbasis web yang popular dengan sebutan Electronic Learning (e-learning), Web-Based Training (WBT) atau dapat  disebut  Web-Based  Education  (WBE),  kampus  maya  (Virtual  Campus), mobile learning (m-learning) dan lain-lain sudah mulai dikembangkan secara luas. Dengan keadaan yang demikianlah, belajar jarak jauh dan pendidikan jarak jauh akan menjadi pelopor memasuki era baru yakni abad 21 atau era milenia.
Dalam pembelajaran abad 21 kita mengenal istilah literasi ICT. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar peserta didik. Kegiatan-kegiatan yang  harus  disiapkan  oleh  pendidik  adalah  kegiatan  yang  memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menggunakan teknologi komputer dalam pembelajaran. Oleh karena itu penguasaan teknologi komputer bagi seorang pendidik dalam abad 21 ini adalah suatu yang wajib dan tidak dapat dihindari. Bagi seorang pendidik pada abad 21 saat ini sudah menjadi kewajiban untuk meng- upgrade kemampuannya.
Banyak cara yang dapat dilakukan pendidik untuk meng-upgrade kemampuannya. Salah satu cara adalah dengan mengikuti diklat, pelatihan, workshop, training dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan secara berkelompok ataupun mandiri. Secara kelompok pendidik dapat bergabung dalam forum keprofesian guru semisal MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Kemudian  secara  individu  pendidik  dapat  memanfaatkan  teknologi  informasi dalam mengupgrade kemampuannya. Banyak model-model pelatihan online yang dapat dimanfaatkan oleh guru. Hampir semua Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang ada di Indonesia saat ini sudah banyak yang memfasilitasi pendidik yang ingin meng-upgrade kemampuannya. Misal P4TK Matematika dan P4TK IPA yang sudah sering melaksanakan Diklat Online, E-Training, dan E-Learning.
Bukan cuma P4TK, beberapa Universitas baik Indonesia atau luar negeri sudah banyak yang mengadakan Diklat Online, Training Online, dan kegiatan sejenisnya. Misalnya Universitas Terbuka dan Fakultas Pendidikan University Kebangsaan Malaysia yang membuka program sertifikat, yakni sejenis pelatihan online yang nantinya setelah dinyatakan lulus dari pelatihan online tersebut peserta dapat langsung mencetak sertifikat pelatihan tersebut. Banyak jenis atau tema pelatihan yang dapat kita ikuti dalam pelatihan online yang diadakan beberapa perguruan tinggi tersebut. Tema-tema pelatihan pun disesuaikan dengan isu-isu pendidikan yang masih ramai saat ini.
Pengetahuan atau literasi TIK menjadi salah satu prasyarat bagi kesiapan masyarakat mengoptimalkan pemanfaatan TIK bagi kehidupannya. Pengetahuan tersebut diperlukan karena merupakan suatu bentuk kesiapan mental yang dapat memberi arah bagi setiap individu guna memperoleh keuntungan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Secara teoritis, untuk sampai ke tingkat ICT-Literacy ada empat tahap yang harus dilalui, yaitu: (1) Information Literacy, (2) Computer Literacy, (3) Digital Literacy, dan (4) Internet Literacy.
Information literacy adalah kemampuan mengakses,  mengevaluasi,  dan  menggunakan informasi dari berbagai bentuk – buku, surat kabar, video, CD-ROMs, atau web computer literacy adalah kemampuan menggunakan komputer untuk memenuhi kebutuhan pribadi”. Information literacy juga diartikan kumpulan keterampilan, pengetahuan,  pemahaman,  nilai,  dan  hubungan kerabat yang mengijinkan seseorang berfungsi sebagai warga negara yang produktif dalam masyarakat yang berkiblat pada komputer.
Digital literacy adalah kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber ketika disajikan    melalui    alat    digital. Kemampuan untuk memahami bagaimana informasi dihasilkan   dan   dikomunikasikan   dalam   berbagai bentuk melalui penciptaan kerangka kerja kritis untuk retrieval, lembaga, evaluasi, presentasi, dan menggunakan informasi menggunakan alat-alat teknologi digital (Central European University).
Internet literacy adalah kemampuan menggunakan pengetahuan teoritis dan praktis mengenai internet sebagai satu media komunikasi dan informasi retrieval. Dengan demikian, ICT-literacy adalah salah satu kombinasi dari kemampuan intelektual, konsep fundamental, dan keterampilan kontemporer yang harus dimiliki seseorang untuk berlayar menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif.

2.6    Perkembangan Pendidikan di Negeri Tetangga
1.        Singapura
Saat ini Singapura adalah rujukan berbagai bakat, membuat  beberapa teknologi dan litbang bioteknologi dan teknologi tinggi pusat manufaktur, perusahaan perumahan global termasuk 3M, Baxter, Medtronic dan Siemens. Jalan-jalan di Singapura bersih dan aman, tenaga kerja terampilnya dibayar dengan baik dan pajak terdistribusi kembali. Sistem memastikan bahwa penduduk lokal memiliki akses terhadap perumahan berkualitas dan pendidikan publik.
Jalan menuju status hubungan teknologi tinggi Singapura saat ini adalah hanya beberapa dekade dalam pembuatannya, yang didalamnya tidak dilupakan oleh kunci Inisiatif kepemimpinan. Pada tahun 1981, Dr. Tay Eng Soon, Menteri Pendidikan, memimpin sebuah misi untuk mempelajari program pendidikan berbakat di negara lain. Temuan misi ini menegaskan kebutuhan yang mendesak.
Mulailah program pendidikan yang berbakat mengingat Singapura adalah negara kecil, dengan sedikit sumber daya manusia sebagai dasar kemakmuran masa depannya.
Pada tahun 1984, sebuah proyek percontohan dimulai oleh Kementerian Pendidikan (Kemendik) di 2 sekolah dasar, Sekolah Dasar Raffles Girls dan Rosyth School, dan 2 sekolah menengah, Raffles Girls School (Sekunder) dan Institusi Raffles. Ini menjadi basis kebijakan nasional, "Program Pendidikan Berbakat”.
Skor siswa disepuluh persen teratas untuk ujian prestasi di Singapura memenuhi syarat untuk mendapatkan tambahan pengujian untuk menentukan kelayakan layanan yang berbakat. Dengan demikian Singapura memiliki definisi yang paling luas Berbakat di antara negara-negara yang diteliti. Selanjutnya, cabang the Gifted Education (GE) dari MOE menentukan Jika seorang anak "sangat" berbakat dengan melihat 4 kumpulan informasi: sebuah laporan psikologis, prestasi dan kemampuan / tingkat di atas tingkat tes, contoh karya anak, dan rekomendasi guru.
Kementerian Pendidikan secara formal mengidentifikasi bakat akademis dan melayani 1% teratas kohort nasional melalui Program Pendidikan Berbakat (GEP), dimulai di semester 4. Ini juga melayani untuk yang sangat berbakat sekitar 500 murid (dari 4000 murid yang diuji) masuk ke program di tingkat dasar 4 setiap tahun. Intervensi untuk anak berbakat sangat luas.
Ini termasuk pengayaan (siswa belajar topik yang diajarkan secara lebih mendalam dan luas), instruksi serba diri, kursus online (kelas tingkat atas), bimbingan (siswa disesuaikan dengan mentor yang memberikan pelatihan dan pengalaman lanjutan di area konten tertentu), percepatan subjek (siswa ditempatkan pada tingkat kelas yang lebih tinggi secara spesifik subjek tetap dengan kohort usia untuk mata pelajaran lainnya), pendaftaran ganda (di lebih dari satu sekolah), penerimaan sekolah dasar awal (pada usia 5 tahun), dan kelas akselerasi (sampai 4 kelas). Menurut Kementerian Pendidikan Singapura, jumlah anak pra-universitas di Singapura adalah 521.594 (2009). Dalam populasi yang terdistribusi normal, ada sekitar tiga macam sangat berbakat di antara 100.000 anak. Jadi diperkirakan jumlahnya sangat banyak anak-anak berbakat di Singapura berusia 16 tahun 2009.
Meski memiliki populasi kecil, Singapura telah menemukan tempat yang unik cara untuk meningkatkan jumlah pemuda berbakat, dan negara-negara lain telah memperhatikannya. Singapura telah menjadi negara yang ditiru, oleh masyarakat di seluruh Asia (termasuk Okinawa, Jepang) mencoba untuk mengikuti  keberhasilannya. Beberapa dekade kebijakan nasional yang mengutamakan kebijakan nasional. Arsitek sistem inovasi nasionalnya, termasuk Philip Yeo, telah berfokus pada investasi di pendidikan.
Pemerintah nasional telah memperluas kebijakan pendidikan yang berbakat untuk menarik yang terbaik dan paling terang dari negara lain untuk menetap di Singapura. Salah satu contohnya adalah "Guppies to Paus "yang disponsori oleh The Singapore Agency for Science, Technology and Research (STAR). Meningkatnya siswa sekolah dasar, menengah dan atas dengan bakat dalam bidang matematika dan sains diidentifikasi di Singapura dan negara-negara lain, khususnya di Asia. Untuk meningkatkan memori jangka panjang untuk Singapura, mahasiswa asing diharuskan untuk menerima kewarganegaraan Singapura dan juga diminta untuk setidaknya bekerja di Singapura 3 tahun setelah lulus. Siswa lokal juga berhak mendapatkan sponsor serupa program.

2.        China
Pada tahun 2000 di negara Cina, tengah disibukan mempromosikan kreativias sebagai komponen penting dalam sistem pendidikan nasional negara mereka. Sebelumnya para pemimpin pendidikan di Cina melihat kurangnya kreativitas sebagai penghalang untuk sukses secara global dan kompetitif. Menurut Wang (dalam Lockette, 2012, hlm. 1) Reformasi pendidikan di Cina saat itu dirancang dari pembelajaran ceramah dan hafalan menjadi pembelajaran yang berpusat kepada siswa, hal itu termasuk pembelajaran kooperatif, metode penemuan, serta pembelajaran berbasis proyek.
Sebagai inti dari reformasi, para pemimpin di Cina melihat dan masih menganggap bahwa pendidikan penting bagi pengembangan Cina, sebagai kekuatan global dan politik dan merasa interaksi sosial di dalam ruang kelas sebelum reformasi tidaklah kondusif untuk pengembangan kreativitas dan inovasi.Rencana lima tahunan Cina yang kesebelas pada tahun 2006 juga menempatkan kreativitas sebagai prioritas negara (Vong, dalam Lockette, 2012, hlm. 1). Menstimulasi kreativitas, kenegaraan dan pemerintah daerah dan guru diberi wewnang lebih besar dalam pengembangan dan seleksi buku teks, serta lebih banyak pendapat dalam mengembangkan kurikulum yang fleksibel.
Untuk mereformasi pendidikan dengan model pendidikan yang berkualitas, pemerintah Cina memandang negara-negara Asia terkemuka seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Pengaruh negara-negarabarat juga termasuk, terutama pada pembelajaran yang berpusat pada siswa dan pembelajaran learning by doing (Lockette, 2012, hlm. 1). Pendidikan berkualitas, yang merupakan inti reformasi pendidikan Tiongkok, terlihat sebagai pendekatan holistik yang berfokus pada keseluruhan pribadi dan merupakan reaksi terhadap pola pikir pendidikan yang telah ada di Cina selama lebih dari 1000 tahun, termasuk kekaisaran Cina dengan hafalan-hafalan dan penalaran yang menjadi metode pengajaran standar.
Namun, setelah lebih dari satu dekade reformasi pendidikan yang berfokus pada pengembangan kualitas, tidak ada bukti bahwa reformasi tersebut mengahasilkan dampak positif yang signifikan terhadap pengajaran dan pembelajaran di Cina. Peneliti Liu & Dunne (dalam Lockette, 2012, hlm. 2) mengklaim bahwa semua keputusan dan tindakan pendidikan masih berfokus pada sistem ujian tes. Tujuan belajar hanya sebatas berhasil menjawab pertanyaan tes lalu melalanjutkan ke tingkatan sekolah berikutnya.
Ketimpangan reformasi pendidikan juga terjadi di wilayah pedasaan yang ada di Cina. Perbedaan demografis antara masyarakat perkotaan dengan masyrakat pedesaan menyebabkan sulitnya melaksanakan reformasi terlebih guru-guru di pedesaan tidak melaksanakan reformasi pendidikan. Di pedesaaan, pembelajaran masih banyak memakan waktu di kelas dengan membaca dan metode hafalan yang membuat para peserta didik pasif.
Menurut Burton (dalam Lockette, 2012) Dalam semua wilayah di Cina, budaya mungkin merupakan penghalang terbesar dalam menggabungkan kreativitas mencapai tujuan pendidikan berkualitas. Studi tentang pengajaran dan pembelajaran di Cina biasanya menandai orang Tionghoa sebagai kurang kreatif, sebagian besar disebabkan oleh filsafat Konfusius yang menghargai kolektifisme, kerja keras, dan rasa hormat otoritas bahwa lazim dalam budaya Tiongkok bagi para guru untuk menganggap ketidaksesuaian sebagai perilaku pemberontak dan sombong.

3.        Koreae Selatan
Seperti halnya pendidikan di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Pendidikan di Korea Selatan dilaksanakan dalam beberapa jenjang, yaitu jenjang pendidikan primer (primary education), pendidikan sekunder (secondary education), dan pendidikan tinggi (high education). Pendidikan primer di Korea Selatan diwajibkan untuk anak-anak berusia 6 sampai 14 tahun. Pada jenjang pendidikan primer ini, prosesnya dilaksanakan di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Pendidikan sekunder di Korea Selatan idealnya dilaksanakan selama 6 tahun, yaitu 3 tahun di sekolah menengah (setara dengan SMP di Indonesia) dan sekolah atas (setara dengan SMA di Indonesia). Pada jenjang pendidikan sekunder ini, prosesnya dilaksanakan sekolah-sekolah kejuruan (setara dengan SMK di Indonesia). Selain itu, pada usia-usia sekolah menengah dan sekolah tinggi ini, anak-anak Korea Selatan melaksanakan beberapa pendidikan tambahan, yaitu melalui kegiatan kursus-kursus tertentu.
Dalam jenjangnya, pada Taman Kanak-kanak (TK) di Korea Selatan, TK bukanlah program publik/formal tetapi merupakan lembaga swasta yang mengajarkan bahasa Korea dan Inggris. Usia anak-anak yang memasuki TK berkisar antara 3-7 tahun. Di TK ini satu kelas bisa berisi anak-anak dengan rentang umur yang berbeda (4 tahun). Kemudian  Sekolah Dasar (Chodeunghakgyo) sekolah dasar terdiri dari kelas 1 - 6 dengan rentan usia 7 - 13 tahun. Siswa kelas 1 dan 2 mempelajari bahasa Korea, matematika, sains, ilmu sosial, seni, dan bahasa Inggris, sedangkan kelas 3 hingga 6 ditambah PE, pendidikan moral, seni praktis, dan musik. Biasanya, guru kelas (wali kelas) yang mengajar sebagian besar mata pelajaran, kecuali bahasa asing dan olahraga. Mereka yang ingin menjadi seorang guru sekolah dasar harus memiliki kemampuan utama dalam pendidikan dasar, yang secara khusus dirancang untuk menumbuhkan guru sekolah dasar.
Pada tahun 2008 sekolah dasar dan menengah berpartisipasi dalam pendidikan untuk yang berbakat, pendidikan Berbakat di Korea lebih lambat berkembang daripada negara-negara Asia Timur lainnya (Kathryn & Arens, 2012, hlm. 12). Busan Science High School (BSA), didirikan pada tahun 2001, merupakan sekolah berbakat pertama yang resmi. Proses seleksi pendatang baru ke BSA terdiri dari tiga tahap. Pendaftar diputar berdasarkan nilai matematika dan sains atau pertunjukan terbaik di kompetisi sains dan sains nasional atau internasional. Pada tahap kedua, kemampuan pemecahan masalah kreatif dalam matematika dan sains dievaluasi. Tahap ketiga dari proses seleksi adalah sebuah kamp panjang empat hari. Siswa menunjukkan kemampuan mereka dalam identifikasi masalah, desain eksperimental, pengumpulan data, menarik kesimpulan, dan menyajikan dan mengomunikasikan hasil di depan audien. Pada tahun 2009, Seoul Science High School memulai proses konversi menjadi sekolah yang berbakat. Selanjutnya, Undang-Undang Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah (2009) dan Undang-Undang Pendidikan Berbakat (2009) mempromosikan pembuatan sekolah menengah khusus dan sekolah tambahan untuk yang berbakat.
Sebelumnya, pada tahun 2005, sebuah program dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendidik anak-anak berbakat orang-orang yang memiliki kekurangan sosioekonomi. Tidak seperti pendaftar untuk pusat pendidikan atau kelas untuk yang berbakat, kandidat ini dipilih melalui tes berpikir kritis (bukan tes yang berorientasi pada subjek, yang sering dianggap memiliki bias terhadap siswa dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi). Singapura mirip dengan Korea dalam mengasuh kemampuan siswa berprestasi tinggi-terlepas dari status sosial ekonomi, dan sebagai tambahan, negara asal.
Menurut Riyana (dalam Makalah Studi Pengembangan Kurikulum), Reformasi kurikulum di Pendidikan Korea dilaksanakan sejak tahun 1970-an dengan mengkoordinasikan metode pembelajaran dan pemanfaatan teknologi, adapun yang dikerjakan oleh guru, meliputi langkah, yaitu 1) perencanaan pengajaran, 2) diagnosis murid, 3) membimbing siswa belajar dengan berbagai program, 4) test dan menilai hasil belajar. Selain itu juga, pendidikan di Korea Selatan juga bersifat sentralisasi, yang diantaranya untuk meningkatkan investasi Pendidikan, memperkecil jurang pemisah antara penduduk kota dan desa dan memberikan perhatian besar terhadap pendidikan sosial dan moral.
Dalam mendukung pembelajaran di Negara Korea, Departemen Pendidikan, Sains dan Teknologi (MEST) meluncurkan program pada tahun 2007, menyerukan tidak hanya untuk penciptaan buku digital, tetapi juga database jaringan dari bahan ajar untuk melayani sebagai yang baru, dan kurikulum yang fleksibel. Penggunaan buku teks digital memiliki banyak keuntungan yang berbeda atas pembelajaran berbasis cetak tradisional, yang kini banyak dilihat oleh pendidik Korea sebagai terlalu pasif dan ketinggalan zaman. Sedangkan, kebutuhan pendidikan berubah, begitu juga metode pembelajaran yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan.
Jang (dalam Kim, Young & Hung, 2010), menyatakan “Menghafal dan pengulangan adalah metode pembelajaran yang efektif untuk informasi hanya mempertahankan, tetapi tidak cocok untuk penerapan pengetahuan dan reproduksi kreatif. Dan Kompetensi kreatif adalah tujuan utama pendidikan”. Buku digital menyediakan platform untuk kurikulum yang dapat dengan mudah diperbarui oleh guru, dan juga menawarkan lebih banyak kesempatan untuk konten dinamis dengan peningkatan interaktivitas. Studi terbaru menunjukkan bahwa media baru tampaknya memiliki dampak positif pada siswa belajar, dengan perbaikan diukur dalam meta-kognisi, self-regulated learning, self-efficacy, eksplorasi informasi, pemecahan masalah, motivasi intrinsik dan refleksi diri.
Komponen lain untuk membantu sistem pembelajaran digital di Korea Selatan meliputi pengembangan depan Sistem Pembelajaran Cyber untuk meningkatkan kesempatan pendidikan luar sekolah, dan pembentukan gateway e-learning. Pendidikan pintar bergantung pada faktor-faktor lain untuk Korea Selatan. Didukung dengan kemajuan teknologi berdampak pula pada kemajuan pendidikan dan ekonomi, Cepat, internet handal tersedia hampir di mana-mana di daerah perkotaan dan pedesaan sama. Negara ini menempatkan premi yang tinggi pada pendidikan, dengan sejumlah besar baik belanja pendidikan swasta dan umum sehingga meminimalisir perbandingan sekolah swasta dan umum.
Pendidikan dilihat sebagai aspek penting bagi keberhasilan dan persaingan di Negeri Gingseng. Di negara ini terdapat lima mata pelajaran utama, yaitu matematika, sains, bahasa Korea, studi sosial, dan bahasa Inggris. Biasanya pendidikan fisik atau olahraga dianggap tidak terlalu penting, makanya banyak sekolah yang tidak memiliki gelanggang olahraga yang layak. Korea Selatan adalah negara pertama di dunia yang memberikan akses internet berkecepatan tinggi di setiap sekolah.
Pembelajarannya menerapkan teknologi tinggi, dengan yang memberikan akses internet berkecepatan tinggi di setiap sekolah. Masyarakat Korea menganggap guru memegang posisi yang berharga dan tinggi karena Korea menanamkan bahwa pendidikan adalah hal yang utama. Akibatnya, Korea benar-benar menjunjung tinggi para guru. Ada rotasi mutasi guru setelah lima tahun mengajar. Hal ini dilakukan agar setiap guru mendapat kesempatan yang adil untuk mengajar di berbagai sekolah.

4.        Jepang
Negara selanjutnya dalam perkembangan abad ke-21 ialah negara Jepang. Sebuah artikel April 2010 di koran Mainichi mencatat inovasi dalam ilmu kehidupan berbasis Pengalaman belajar di Yokohama City Science Frontier High School pada saat yang bersamaan menyesalkan kurangnya pembangunan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan kemampuan atau bakat (Kathryn & Arens, 2012, hlm. 15). Pendidikan inklusi tetap menjadi dilema di Jepang, karena sangat terkait dengan elitisme. Ini disebabkan karena budaya yang kuat bahwa kerja keras dan usaha mengarah pada kesuksesan akademis, bukan kemampuan bawaan (bakat).   
Sebuah artikel tahun 1994 yang meneliti negara Jepang dan negara-negara Asia lainnya mencoba untuk menyelesaikan pendidikan inklusi bahwa pendidikan yang inklusi tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan yang disponsori pemerintah.
Hampir tidak ada struktur formal di Jepang untuk mendukung pendidikan siswa berbakat. Tidak ada sekolah kejuruan di Jepang. Mayoritas sekolah bergantung pada MEXT (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) pedoman kurikulum (untuk sekolah negeri ini wajib). Akibatnya, guru kelas memiliki sedikit sulit dalam memberikan diferensiasi atau percepatan untuk siswa berbakat akademis. Namun, ada beberapa contohnya praktik pendidikan individual dan adaptasi, termasuk yang ditunjuk oleh MEXT sebagai SMA Super Science, termasuk SMA Negeri Horikawa Kyoto.
Dimulai dari dari tahun 2002 reformasi MEXT sebuah usaha dilakukan untuk menyeimbangkan pembelajaran hafalan dengan pendidikan yang lebih individual Yutori kyoiku (ゆとり 教育), tetapi dengan penekanan yang ada pada persiapan ujian masuk untuk sekolah menengah dan nilai yang lebih tinggi, ini telah terbukti sulit. Pada tahun yang sama Japan Science and Technology Agency, bagian dari MEXT, memprakarsai Super Science Highschool (SSH) dalam menanggapi penurunan nilai siswa dan minat dalam matematika dan sains. Siswa yang menghadiri SSH jauh lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam Olimpiade Sains Internasional.
Harold Stevenson dan Jim Stigler (dalam OECD, 2011) menggambarkan kelas seorang guru di kelas matematika di Jepang akan mengajukan masalah dan meminta murid-muridnya untuk mengerjakannya. Saat siswa melakukannya, guru berkeliling melihat pendekatan yang diambil oleh siswa untuk menemukan solusi dari masalah. Setelah beberapa saat, guru akan meminta beberapa anak untuk ke depan kelas dan menuliskan pekerjaan mereka ke papan tulis. Beberapa dari mereka itu akan menghasilkan jawaban yang benar dan beberapa tidak. Dia akan meminta kelas untuk menawarkan pandangan mereka mengenai jawaban yang ditulis oleh murid di papan tulis.  Dengan cara ini, mereka akan sampai pada pemahaman matematika yang lebih dalam yang mendasari solusin untuk pemecahan masalah dan menjadi jauh lebih mahir dalam menggunakan matematika untuk memecahkan masalah.
Karena bidang pendidikan kejuruan sangat baru di Jepang, sebagian besar ilmuwan Jepang melakukan penelitian tentang pendidikan kejuruan sampai sekarang berfokus pada studi di negara lain, seperti Cina dan Korea. Pada tingkat sekolah menengah, sekolah swasta memiliki kurikulum yang dirancang untuk mempersiapkan siswa masuk ke sekolah menengah atas dan kemudian menuju universitas, dan kurikulum yang lebih disesuaikan, terutama berbasis sains tersedia bagi siswa. Untuk mereka yang bertujuan untuk menghadiri universitas, sistem tes (o-juken) dimulai sedini mungkin sebagai pra sekolah.          
 Jepang bergulat dengan tantangan tersebut dalam upayanya untuk mengembangkan yang kebijakan nasional konferhensif yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam mendukung sistem inovasi nasional yang layak bersaing global di abad ke-21.



BAB III
PENUTUP

6.1         Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1)        Learning  to  know  atau  learning  to  learn  mengandung  pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil  belajar,  akan  tetapi  juga  harus  berorientasi  kepada  proses  belajar. Leraning to do lebih merujuk pada kemampuan  kerja  generasi  muda. Peserta didik  diajarkan  untuk melakukan  sesuatu  dalam  situasi  yang konkrit  yang tidak terbatas   pada  penguasaan   keterampilan   yang  mekanistis   melainkan   juga keterampil dalam berkomunikasi, berkerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Learning  to live  together  menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa perdamaian. Selanjutnya, muara akhir dari tiga pilar belajar (Learning to know, learning to do, learning to live together) adalah learning to be, dengan pilar ini, peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri.
2)        Implementasi model pembelajaran UNESCO dalam pembelajaran di Indonesia antara lain, Partners In Learning/Belajar Dalam Berkelompok, Cooperative Learning Communities, Group Investigation: Building Education Through The Emocratic Process, The Philosophical Underpinnings, Orientation To The Model, Models Of Teaching, dan Instructional and Nurturant Effects Group Investigation Model
3)        Model pembelajaran yang dipandang efektif meningkatan hasil belajar siswa adalah model pembelajaran Visualization, auditory, kinesthetic dan model pembelajaran Project Citizen
4)        Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang termasuk dalam 4C (Crtitical thinking, communication, collaboration, and creativity) pembelajaran abad 21
5)        Dalam pembelajaran abad 21 kita mengenal istilah literasi ICT yang merupakan suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar peserta didik.
6)        Model pembelajaran abad ke-21 dimana siswa diarahkan agar fleksibilitas, interdisipliner, sadar budaya dan kolaboratif dalam belajar. Model pembelajaran abad ke-21 di negara-negara Asia ini mengajarkan bagaimana menyikapi proses negara yang sedang berkembang dan menyesuaikan sumber daya manusia agar siap bersaing secara global. Jumlah lulusan sekolah yang tinggi dinilai tidak seimbang dengan kualifikasi lulusan yang diperlukan. Secara garis besar model-model pembelajaran di Singapura, Cina, Korea & Jepang sulit berkembang dikarenakan masih kentalnya budaya ketimuran masing-masing negara. Berbeda dengan budaya barat yang mampu menerima perbedaan maupun perubahan secara serta merta. Negara Singapura, Cina, Korea & Jepang kini terus berinovasi dalam pendidikan negaranya. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan bakat dan kemampuan siswanya.
DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Surya dan Rosnah Siregar. 2014.“Internalisasi Karakter melalui Model Project Citizen pada Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”. Jurnal Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. 6(2), 132-137
Indriani, Dina. 2019. “Peranan Project Citizen terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa”. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. 4(2): 20-29
Mukminan. 2014. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pendayagunaan Teknologi Pendidikan. UNB. Surabaya
Putri, M.M.K.; E. Kusumo; W. Sumarni. 2017. “Keefektifan Model Pembelajaran Visualitzation, Auditory, Kinesthetic terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Kimia”. Chemistry in Education. 6(1), 47-53
Saleh, Baso. 2015. “Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Masyarakat di Kawasan Mamminasata”. Junral Pekommas. 18(3), 151-160


PPTNYA

Kemudian Untuk PPTNya ada 24 Slide berikut priviewnya


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon