Sumber Gambar : http://www.alabn.com
Guru
adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong
pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya
dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga
tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai
salah satu kunci pembangunan
bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika
guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan
tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak
terbendung lagi perkembangannya.
Namun
posisi guru saat ini, dizaman yang serba modern ini menjadi tergantung, banyak
guru yang belum dapat merasakan arti profesinya. Kehidupan guru yang penuh ketidak
pastian mulai dari adanya ketidak setaraan derajat sampai upah yang terlalu
minim. Masih banyaknya guru honorer yang upah sangat minim seakan menjelaskan
identitas guru sebagai pahlawan tanpa tanda” anggapan tak perlu upah”.. Pada
hal peran guru sangat muliah bagi bangkitnya negara kita yang mencoba take off
dari era berkembang ke era maju. Seharusnya kita belajar banyak dari sejarah
kenegeraan jepang dari keterpurukan pasca bom dasyat era 1945 yang sejak saat
itu mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai saat ini menjadi pusat
teknologi mutahir, dan itu karena apa, karena jasa guru mereka yang begitu
mereka jaga dan hormati.
Kehidupan
guru di indonesia seakan penuh dengan warna, disisi lain berwarna terang dan
disisi lain kusam. Berlatar belanga dari hal itu dalam sebuah makalah ini
penulis mencoba mengulas, memberi tahu dan merincikan tentang sesuatu mengenai
figure seorang guru sebagai cermin pendidikan diindonesia yang dirangkum dalam
sebuah makalah dengan judul aneka warna profesi guru.
A.
Aksesibilitas
Guru
Membicarakan
guru dizaman modern ini, tidak bisa mengabaikan teknologi informasi. Ada yang
mengatakan untuk konteks yang satu ini, siswa kadang lebih pintar dari pada
gurunya. Ini adalah sebuah kasus, itu adalah fakta saat ini. kita berharap
fakta seperti ini bukanlah akta permanen, tetapi lebih merupakan fakta temporal
atau sesaat. Artinya kondisi ini adalah benar dan memang begitu adanya. Tetapi
akta ini harusnya dipahami sebagai gambaran profesi guru saat ini, dan bukan
untuk selamanya, atau tidak harus selamanya begitu.
Untuk kebutuhan
masa depan, dibutuhakan usaha keras untuk melakukan pembenahan, perbaikan dan
perubahan. Baik pemerintah pusat, daerah, lembaga pendidikan, organisasi
profesi maupun individu guru sendiri hendaknya memiliki hasrat untuk
memperbaiki kondisi ini, dan kemudian merencanakan program yang dapat merubah
kondisi melek informatika ini, karena kita tahu bahwa zaman ini adalah zaman
teknologi dimana informasi merupakan kebutuhan dasar.
Terkait hal ini,
teringat kepada kajian yang dialakukan Jarica Hanson yang mebedakan guru
kedalam empat kelompok yang didasarkan pada aspek kemauan dan kemampuan dimana
guru lapangan dapat dikelompokkan menjadi; pertama, the have yaitu mereka yang
memiliki kemampuan secara ekonomi, dan kemauan memanfaatkan ayanan internet
yang dijadikan sebagai sumber belajar sekaligus juga media belajar. Kelompk the
have ini mampu mengakses sumber-sumber informasi baik dalam maupun luar negeri.
Kedua, disebut the have nots atau kurang mampu. Dimana untuk yang kedua ini
kita dapat mempersamakan dengan guru honorer yang terbatas dalam ekonomo dan juga kurang kompoten untuk memanfaatkan
teknologi. Ketiga, kelompok guru yang
memiliki hasrat, minat dan keinginan maju yang baik, tetapi kemampuan ekonomi
kurang. Kelompok ketiga ini disebut the good will. Dan kelompok keempat,
disebut don’t wants dikelompokkan kedalam guru yang bersifat apatis, tidak
memiliki kemauan, maka failitas dan kemampuan ekonomi tidak memberikan dampak
nyata terhadap pelayanan.
Terkait dengan hal
ini, perlu diketahuai bahwa internet memang bukan segala-galanya. Sebagai guru,
kita pun tidak bermaksut untuk mendewakan internet atau komputer. Kualitas
beajar dan atau kualitas pembelajaran pada sebuah sekolah, bukan tergantung
pada komputer saja. Banyak faktoryang bisa mempengaruhi kuaitas pembeljaran dan
lulusan pendidikan kita. Tetapi, mengabaikan fasilitas internet dan teknologi
komputer jelas akan mempengaruhi daya saing dan daya dukung terhadap peserta
didik untuk menjadi lulusan yang unggul.
B.
Over
Edukasi
Bagi
seorang guru, mendengar adanya guru yang tidak layak mengajar/mendidik, sudah
tentu akan merasa sedih. Dan bila kita berposisi sebagai seorang wali murid,
atau orang tua siswa, mendengar banyaknya guru yang tidak layak
mengajar/mendidik ini, menjadi waswas. Artinya, mungkin kita, sebagai orang
tua, mau menyerahkan masa depan anak terhadap tenaga pendidik yang tidak layak
mengajar/mendidik ? relakah, seorang ibu atau orang tua menggadekan masa depan
anak kepada satuan pendidikan yang diisi oleh guru-guru yang tidak layak
mengajar/mendidik ? Itulah persoalan yang mengerikan dan perlu dengan segera
untuk dituntaskan. Sebagai salah seorang tenaga pendidik di satuan pendidikan
dasar, dan juga di sekolah swasta, masih bayak hal dan informasi yang minum
untuk mengetahui apa alasan, atau apa standar yang digunakan oleh para peneliti
untuk menyebut layak-tidaknya seseorang dalam menjalan tugasnya sebagai seorang
guru. Apakah mereka melihat ijazah atau kemampuan nyata seorang guru di
lapangan ?
Namun demikian,
kita semua perlu berprasangka baik terhadap para pengamat atau peneliti dalam
bidang kependidikan tersebut. Dan, bagi kita yang dilapangan, baik sebagai
seorang guru maupun sebagai orang tua murid, dapat merumuskan beberapa hal yang
positif dalam pemberian layanan pendidikan.
Bagi orang tua
Dengan adanya temuan bahwa sebagian besar
tenaga pendidik tidak layak mengajar/mendidik, tidak perlu dijadikan alasan
untuk ragu dalam menyekolah anak-anaknya ke lembaga pendidikan. Justru
sebaliknya, orang tua murid perlu menjadikan informasi tersebut sebagai bahan
dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan tempat pendidikan anak-anaknya.Di
masyarakat kita, terlebih lagi dalam pemilihan perguruan tinggi, kerapkali
hanya melihat megahnya gedung, atau rendahnya biaya pendidikan. Tanpa
menghiraukan budaya akademik yang dibangunnya, seorang calon mahasiswa kerak
kali langsung mendaptarkan diri ke lembaga pendidikan tersebut. Padahal,
sejatinya, baik orang tuanya maupun dirinya sendiri tidak mengetahui budaya
akademik dari dosen pengajarnya tersebut. Mengetahui kondisi atau kualitas
proses belajar mengajar pada satuan pendidikan tersebut, memang agak sulit. Dan
itulah, salah satu bukti lain mengenai kelemahan system pendidikan di Negara
kita saat ini, yaitu tidak transparannya budaya akademik dari satuan pendidikan
di Indonesia.Ketidakjelasan mengenai budaya akademik atau kualitas layanan
pendidikan dari satuan pendidikan tersebut, bisa disebabkan karena kurang
efektifnya Badan Akreditasi Nasional terhadap satuan pendidikan, baik terhadap
pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Sebagaimana diketahui, badan akreditasi
memiliki tujuan untuk mengevaluasi mutu layanan pendidikan pada satuan
pendidikan. Dan hasil dari akreditasi sekolah tersebut, akan menunjukkan mengenai
kinerja layanan pendidikan pada satuan pendidikan tersebut. Sayangnya, dan ini
kelemahan kita, hasil dari akreditasi sekolah tersebut jarang dipublikasikan.
Selain itu, masyarakat pun hampir tidak peduli atau tidak paham mengenai makna
dan fungsi dari akreditasi sekolah. Sehingga, banyak orang tua yang tidak
memperhatikan nilai hasil akreditasi terhadap satuan pendidikan yang dimaksud.Pada
masa lalu, sempat kita mendengar ada pertanyaan orang tua mengenai status
sekolah (terdaftar, diakui, disamakan atau negeri). Perbedaan status sekolah
dengan kategori tersebut, kini sudah tidak digunakan lagi. Pada masa sekarang,
status kinerja pendidikan itu dicerminkan dengan nilai kualitatif A,B atau C.
Nilai A, adalah nilai tertinggi yang diberikan tim evaluasi (tim akreditasi)
terhadap kinerja lembaga pendidikan tersebut.
Seiring dengan hal tersebut, tepat kiranya
bila menyebarnya informasi mengenai adanya tenaga pengajar yang tidak layak
mengajar/mendidik, dapat dijadikan sebagai pencerahan bagi orang tua untuk dapat
berhati-hati dalam menyekolahkan anak-anaknya. Pengambilan keputusan dalam
penentuan satuan pendidikan tersebut, hendaknya dilakukan secara penuh
pertimbangan.Kebiasaan kita selama ini, yang hanya mengggunakan pertimbangan
jarak dan biaya pendidikan dalam penentuan satuan pendidikan bagi anak, kiranya
perlu dilengkapi dengan informasi mengenai kinerja proses layanan pendidikan di
satuan pendidikan tersebut.
Bagi tenaga pendidik
Tersiarnya informasi bahwa masih banyak
tenaga pendidik yang kurang berkualitas, secara tidak langsung memprihatinkan
kita semua. Bagi kita, yang ada di internal pendidikan, dan khususnya sebagai
tenaga professional, informasi tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah lecutan
untuk terus meningkatkan wawasan dan pengetahuan, sehingga kompetensi nyata
keprofesian ini dapat meningkat lebih baik. UU Guru dan Dosen, yang telah
ditetapkan oleh Dewan dan Pemerintah, kiranya dapat dijadikan sebagai landasan
yuridis untuk terus meningkatkan kemampuan dasar dan kemampuan professional
tenaga pendidik.Tidak dipungkiri, bahwa di satuan pendidikan kita, memang masih
ada tenaga pendidik yang tidak memiliki akta IV. Dengan kata lain, secara
formal, rekanan kerja kita ini dapat dikatakan sebagai guru yang tidak layak.
Namun demikian, bila dilihat dari sisi kemampuan, mereka memiliki kemampuan
minimal sebagai tenaga pendidik.
Lebih jauhnya lagi, dengan adanya
informasi tersebut, para guru dapat bersiap-siap menjelang diberlakukannya
sertifikasi, baik untuk uji kompetensi atau profesi menjelang berlakunya UUGD.
Oleh karena itu, nyata-nyata dengan adanya informasi mengenai masih lemahnya
kelayakan guru dalam menjalankan tugas profesinya tersebut, memberikan dampak
yang positif bagi masa depan pendidikan Indonesia.
What next….
Munculnya analisa
mengenai adanya tenaga pendidik yang tidak layak ini, bukan sesuatu hal yang
baru. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan adanya guru yang tidak layak
mengajar di satuan pendidikan. Setuju atau tidak, diakui atau tidak, budaya KKN
di masa lalu, adalah salah satu penyebab dasar munculnya tenaga pendidik yang
tidak layak mengajar/mendidik. Namun demikian, menyalahkan sejarah masa lalu,
yakin tidak akan mampu menyelesaikan kondisi pendidikan saat ini.
Dengan adanya kritikan terhadap para guru
tersebut, kita pun tidak wajib untuk membela diri atau balik menyerang orang
yang mengkritik dunia pendidikan. Kendatipun memang, dengan argument
self-defensive (mempertahankan diri) para guru pun dapat menyatakan bahwa
banyak aparatur pemerintah yang tidak layak sebagai abdi Negara. Tetapi, kritik
balikan seperti ini, tidak memecahkan masalah mengenai apa yang sedang terjadi
di dunia pendidikan. Artinya, kendati benar bahwa di tingkat aparatur
pendidikan pun ada yang tidak layak, di tingkat peneliti pendidikan pun ada
yang tidak layak sebagai peneliti, dan pada satuan pendidikan pun ada guru yang
tidak layak mengajar/mendidik, namun menutupi kelemahan pribadi dengan
menyerang orang lain ini, tidak akan menyebabkan diri kita menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengajak pada seluruh
praktisi pendidikan, untuk kembali merevitalisasi kemampuan professional kita
dalam mengemban amanah tugas Negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
C.
Anatomi
Guru Sukwan
Guru
sukwan dilapangan, merupakan satu kelompok masyrakat yang menjadi korban
kebijakan pendidikan yang tak adil. Jenis-jenis ketidak adilan ini, adalah
disebabkan adanya kebijakan-kebijakan publik pemerintah yang tidak tuntas, tidak
sistematis dan tidak ada rencana yang diadaptasikan dengan kondisi di lapangan,
khususnya dilingkungan pendidikan. Seperti halnya kasusu perubahan penghapusan
SPG/SGO, dan kebijaksaan penyetaraan pendidikan ke PGSD. Disaat lulusan-lulusan
SPG/SGO belum diangkat, mereka sudah mengeluarkan kembali lulusan pendidikan
dari PGSD. Keudian, ketika proyek pengadaan guru sekolah dasar melalui PGSD
diberlakukan, ternyata pengangkatan tidak seimbang dengan pelulusannya.
Akibatnya, proyek penerimaan mahasiswa PGSD hanyalah sekedar proyek pendidikan
yang tidak memilki jalan penyaluran lulusannya.
Jika
kita coba telaah lebih lanjut, guru sakwan(khususnya ditingkat SD) memilki
anatomi sangat akut. Pertama, guru
sukwan SD adalah lulusan SPG/SGO yang belum diangkat. Hal ini bisa disebakan
karena, sejak tahun 1990-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
pentingnya guru SD yang haru memiliki jenjang pendidikan D-2. Kedua, guru sukwan SD adalah lulusan
PGSD yang belum diangkat. Ketiga,
yaitu lulusan kependidikan yang tidak mendapatkan kesempatan kerja selain
diluar lembaga kependidikan. Sehingga mereka terpaksa untuk menjalani pekerjaan
sebagai guru sukwan di satuan pendidikan tersebut.
Mencermati
masalah ini maka, banyak hal yang perlu dikoreksi oleh kita. Pertama,
pentingnya untuk enguniversalkan kemampuan kelulusan, sehingga mereka memiliki
kemampuan untuk kretif dalam menemukan peberdayaan dirinya sendiri. Kedua,kedua perlu adanya pendekatan
kolegtif dalam mnuntaskan masalah guru sukawan. Sebab, masalah ini bukan hanya
skedar masalah guru sukwan itu sendiri.
Kepada Pemerintahan
Sebagai mana diketahui bersama,
bahwa guru sukwan memiliki peran dan posisi yang strategis. Namun ternyata
terhadap kelompok ini belum mendapat perhatian yang serius dari kalangan
masyarakat. Bahkan, jika ditelaa peraturan daerah diajukan, tampak belum ada
aturan yang signifikan untuk memberdayakan kondisi guru sakwan perda lebih
banyak menyerahaka masalah guru sakwan kepada instalasi atau yayasan
penyelenggaraan pendidikan masing-masing.
Dengan mencermati masalah ini,
muncul sebuah pertanyaan, efektifkah masalah ini dikembangkan kepada
yayasan/lembaga penyelenggaraan masing-masing? Untuk sekedar deskripsi awal
tehadap masalah ini, kita dapat melakukan orientasi atau peta masalah yang
terjadi dilapangan.
Pertama,
data lapangan, selama ini tidak ada standar perlakuan yanga sama antara
satu lembaga penyelenggara pendidikan dengan yang lainnya. Misalnya saja dalam
urusan gaji, jejang karir guru sukwan, hubungan kerja antara guru sukwan dan
yayasan, dan lain sebagainya. Kedua, pola komuikasi yang diserahkan
kepada yayasan lembaga akan melahirkan perlakuan yang sulit terkontrol oleh
masyarakat. Lembaga yayasan akan merasa’memiliki” kewenagan yang otonom dna
mutlak tehadap guru sukwan itu sendiri. Ketiga,
guru sukwan akan mengalhami kehilangan sandaran yuridis yang adil dan mampu
mengangkat hak asasi. Artinya, jika nasib guru sukwan diatus oleh
lembaga/yayasan masing-masing, maka dia tidka memiliki tempat untuk mengadukan
nasibnya, jika mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.
Kepada Wakil Rakyat
Masalah dan persoalan
guru sukwan meruapak hal yang dipertanyakan dan hanya mampu terdiam dan
merintih untuk mengusahakan kenaikan level yang tergantung dari kebijakan
lembaga atau yayasan. Didalam ini terdapat ketidak adilan logika politik yang
ada dilingkungan elite kita sediri. Khsusunya jika kita menggunakan beberapa
argumentasi perbandingan dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidakadilan
logika politik itu, diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama,
perbandingan antara karyawan perusahaan dan lembaga pendidikan. Sangat jelas,
karyawan perusahan masih memilki harapan untuk mengadukan nasibnya ke luar
instalasinnya. Demonstrasi-demonstrsi yang dilakukan kepada wakil rakyat, atau
pemerintahn kota/kabupaten, dalam batas-batas tertentu telah mampu meberikan
hasilnya. Kedua, jika karyawan di
luar pendidikan dapat diselamatkan oleh adanya UU ketenagarakerjaan. Baik itu
dalam masalah pemecatan, UMR, dan hubungan kerjanya. Kendatipun pekerja-pekerja
itu bukan seratus pegawai negeri, tetapi undang-undang itu menampung aspirasi
mereka. Sedangkan guru sukwan tidak diketahui diaman merek harus menyandarkan
yuridisinya. Ketiga, jika karyawan
diluar pendidikan memiliki rasio lebih dari 80; 20% antara yang tetap dengan
honorer, maka di lembaga pendidikan jumlah seperti ini sangat tidak pernah
ditemuakan. Bahkan masih banyak sekolah-sekolah yang hampir 80% di antaranya
adalah guru tidak tetap (honorer). Hal ini terjadi karena yayasan lembaga
merasa memiliki hak istimewa dan mutlak tehadap nasib guru sukwan tersebut. Keempat, jika masalah ekonomi dianggap
sebagai bagian dari sumbangsinya masyarakat kepada negara mendapat perhatian
pemerintah, maka guru sukwan yang juga berusaha untuk membantu kelancaran
program pendidikan nasional, perlu pendapat perhatian dan perhatian yang sama
dari pemerintah.
D.
Posisi
Guru Honorer Lemah
Dalam dua bulan
terakhir menjelang lebaran, ada kebijakan ekonomi yang menguat ke permukaan.
Kedua kebijakan ini, disadari atau tidak, akan berpengaruh terhadap dunia
pendidikan, khususnya para guru, dan lebih khusus lagi, adalah guru swasta atau
honorer lepas. Hal yang paling mengejutkan itu, adalah kenaikan BBM. Hal ini
bukan hanya menyentak masyarakat kecil, tetapi juga buruh dan juga guru
(khususnya guru honorer).
Pada sisi lain,
kita memahami bahwa ada kebijakan khusus dalam bidang ekonomi, yaitu yang
disebut dengan upah minimum ragional (UMR). Dalam mencermati masalah UMR ini,
kerap kali kalangan media massa atau publik, hanya tersedot pada kepentingan
para buruh yang ada dilingkungan perusahaan padahal, lebih jauh dari itu, ada
kelompok buruh yang tidak terpehatikan. Dan realitas ini sebenarya sangat
memprihatinkan.
E.
Lima
Keprihatianan guru honorer
Pertama, kepastian
hukum. Guru honorer suasta, tidak memiliki kepastian hukum. Mereka hanya diikat
oleh surat keputusan dari yayasan. Dimana isi dari surat yayasan itu pada
umunnya tidak perna bisa dikontrol publik, sehingga seakan luput dari perhatian
publik. Kedua, perlindungan terhadap
kesejatraan. Bukan rahasia lagi, jika pendapat guru honorer di kota bandung
masih jauh dari ukuran kecukupan. Ada pendapatan perbulan kuarang dari Rp
400.000, bahkan ada yang kurang dari Rp.200.000.
Ketiga, penurunan
kerja. Guru honorer ternyata memiliki nasib yang sama, yang diperlukan dengan
mekanisme kerja kontrak tahunan. Implikasi dari peraturan ini menyebabkan
banyak kerugian, diantaranya tidak memungkinkan guru honorer untuk mendapatan
pasangon yang cukup, karena masa kerja akan dihitung pertahun dan pihak lembaga
dapat dengan mudah mengalih pindahkan, atau mengangkat pecat guru secara
sepihak.
Keempat, kepastian
karier. Dalam teori maslow, salah satu kebutuhan manusia adalah aktualisasi
diri. Dari mata kuliah psikologi pendidikan, atau psikologi mengajar, setiap
guru dan pihak manajement pendidikan, atau psikologi belajar, setiap guru dan
atau pihak menejement pendidikan, “ pasti” menegtahui masalah ini. namun
demikian fakta dilapangan kran bag iguru swasta atau honorer untuk
mengaktualisasikan diri sangatlah terbatas.
Kelima, atau
terakhir yaitu hak untuk memberdayakan diri. Hukum tidak jelas, kesejatraan
kurang, karir masih kabur, mekanisme kerja tidak berpihak padanya, ditutupi
lagi dengan minimnya hak untuk mengembagnkan karier, seorang guru TK di daerah
ciburu, ternyata harus menrogoh kocek sendiri, bila ingin mengikuti diklat
pembelajaran. Hal ini memberikan gambaran bahwa guru swasta, sangat miskin
mendapatkan kesempatan untuk program peningkatan profesionalitasnya dari pihak
yayasan. Pihak sekolah, dalam kasus iti
hanya memberi izin kegiatan saja.
Kata kunci dalam
memecahakan masalah ini, adalah perlu adanya regulasi dalam pendidikan.
Pemerintahan pusat, provensi, dan kabupaten pusat/kota, seharusnya perlu merumuskan kebijakan-kebijakan khusus
yang terkait degan perlindungan keguruan. Layaknya kaum buruh di indonesia.
Selain itu UU ketenagakerjaan dinas tenaga kerja perlu mengakomodir persoala
yang terjadi di dunia pendidikan. Oleh karena hak itu mashalah perburuhan,
adalah sama maknanya dengan masalah keguruan, dan mashalah keguruan adalah
masalah perburuhan.
F.
Kecemburuan
Sosial Ekonomi
Adanya
program sertifikasi profesi yang digalakan oleh pemerintah dalam ranka untuk
meningkatkan insentif, reward, atau kesejatraan terhadap kinerja pegawai. Namu
faktanya hal tersebut belum dapat mencapai tujuannya. Progaram sertifikasi
belum mampu mendorong adanya peningkatan
peningkatan mutu pendidikan. Malahan terjadi fakta sebaliknya yaitu terjadinya
kecemburuan sosial dilingkungan pendidikan.
Penyebab
awal kecemburuan itu, bukan disebabkan oleh faktor luar pendidikan, atau faktor
luar keguruan. Tetapi, justru karena adanya faktor kebijakan yang berlaku
didunia pendidikan, khususnya dilingkungan keguruan itu sendiri.sebagai mana
dimaklumi bersama, akibat adanya sertifikasi sejak tahun 2007, membagi strata
ekonomi guu pada satuan pendidikan menjadi empat kelompok yaitu pertama, guru
berpendapatn tinggi dengan rata-rata uaph 5 -7 juta mereka adaah guru yabg
telah sertifikasi. Kedua, berpedapatan sedang 2,5 -3,5 juta (belum sertifikasi
). Ketiga, guru pendaat minimal 1 – 2 juta. Mereka pendidik honorer yang sudah
sertifikasi. Terakhir adalah guru berpedapatan minim (kurang), yaitu antara 250.000 – 1 juta (kelompok
honorer belum sertifikasi).
Implikasi
kondisi ini, khususnya di kalangan PNS dan honorer bersertifikasi, terjadi
sebuah dinamika semangat kerja. Kelompok PNS belum sertifikasi, memandang bahwa
dirinya belum merasa wajib bekerja optimal, karena belum sertfikasi(telebih
lagi), bila proses sertifikasi tidak mendoroang dirinya berupaya keras
meningkatkan kualitas), dia malah semakin menjadi pemalas.Akaumulasi dari
persoalan itulah, maka perbedaan jam kerja yang tinggi menjadi isu sesnsitif
yang dapat memuncakkan kecemburuan sosial-ekonomi di lembaga pendidikan.
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
Profesi
guru merupakan dapat diaksebilitaskan terhadap berbagai sumber informasi
termasuk internet sebagai media informasi teranyer saat ini, berdasarkan dari
hal tersebut, Jarica Hanson membagi membagi kelompok guru kedalam empat gelongan yaitu the have, the have nots,
the will, and don’t want.
Masalah
kelayakan seorang guru, berposisi sebagai seorang wali murid, atau orang tua
siswa, mendengar banyaknya guru yang tidak layak mengajar/mendidik ini, menjadi
waswas. Namun demikian, kita semua perlu berprasangka baik terhadap para
pengamat atau peneliti dalam bidang kependidikan tersebut. Dan, bagi kita yang
dilapangan, baik sebagai seorang guru maupun sebagai orang tua murid, dapat
merumuskan beberapa hal yang positif dalam pemberian layanan pendidikan.
Kenyataan
saat ini masih banyak guru yang nasibnya masih terlotang lantung sukwan seperti
halnya guru sukwan dan kondisi honorer yang lemah .Dilapangan mereka kelompok
masyrakat yang menjadi korban kebijakan pendidikan yang tak adil. Jenis-jenis
ketidak adilan ini, adalah disebabkan adanya kebijakan-kebijakan publik
pemerintah yang tidak tuntas, tidak sistematis dan tidak ada rencana yang
diadaptasikan dengan kondisi di lapangan, khususnya dilingkungan pendidikan.
Sejumlah keprihatinan akan kondisi guru kalangan bawah masih bermasalah mulai dari
kepastian hukum, perlindungan terhadap kesejatraan yang kurang, peraturan
kerja, kepastian karier dan masalah hak untuk memberdayakan diri. Perbedaan
kelas yang membedakaan derajat guru masih menimbulkan masalah salah satunya
menimbulkan kecemburuan sosial ekonomi dikalanagan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarma, Momon, S.Pd. Msi. 2013. Profesi guru – dipuji, dikritis, dan dicaci
Jakarta:
Rajawali Pers.
EmoticonEmoticon