teori konstruktivisme dan teori pendidikan Islam mempunyai persamaan yang menunjukkan adanya relevansi di antara keduanya, sedangkan perbedaanya menunjukkan adanya ketidakrelevanan antara keduanya. Relevansi dalam pembahasan ini diartikan kesesuaian. Sehingga yang dimaksudkan dengan relevansi toeri konstruktivisme dan teori pendidikan Islam adalah sejauhmana kesesuaian antara teori konstruktivisme dengan teori pendidikan Islam tentang proses pembelajaran (belajar mengajar). Proses pembelajaran mencakup dua kegiatan yaitu proses belajar dan mengajar (teaching and learning process). Dalam pandangan konstruktivisme, konsep belajar lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam daripada sekedar pembentukan perilaku atau keterampilan. Menurutnya belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi pengertian dan pemahaman. Belajar bukan suatu perwujudan hubungan stimulus-respon. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi.
Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam, belajar atau ta'lim mencakup kegiatan yang luas, tidak sekedar terkait pengembangan pengetahuan saja, melainkan juga pengembangan keterampilan, pembentukan sikap dan perilaku yang baik. Belajar tidak hanya mencakup aspek pengetahuan yang sempit, namun juga meliputi berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang tercermin jelas dalam perilaku manusia di setiap aspek kehidupan dan setiap tindakan. Di sini terlihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertumpu pada satu jenis aliran psikologi belajar tertentu, behavioristik, kognitif, atau humanistik saja, namun mencakup semuanya. Inilah perbedaannya dengan konstruktivisme yang lebih fokus kepada aliran psikologi kognitif. Sedangkan pendidikan Islam lebih bersifat komprehensif dan universal. Pandangan konstruktivisme tentang belajar tersebut ada kesesuaiannya dengan pandangan pendidikan Islam terkait dengan pengembangan aspek pengetahuan (aspek kognitif). Meskipun dalam batas-batas tertentu antara keduanya juga berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, dapat dikemukakan kembali konsep belajar yang dikemukakan oleh Al-Attas maupun Abdul Fattah Jalal. Seperti telah dikemukakan di bagian depan, Al-Attas membedakan pengetahuan menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang pertama disebut dengan al-'ilm yang menunjuk kepada pengetahuan yang hanya dapat mungkin diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihsanannya dan dengan khidmat sejati ibadah kepada Tuhannya Yang Hak demi ridha Nya belaka dan yang kemungkinan dapat diterimanya itu bergantung kepada kehendak dan karunia Allah Swt.
Pengetahuan yang kedua disebut dengan 'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akali dan pemerhatian, penyelidikan, dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar pada pengumpulan kesimpulan kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Pencapaian pengetahuan jenis kedua ini ditempuh melalui proses penginderaan terhadap objek luar serta pengolahan lewat akal pikiran. Di sini indera dan akal manusia merupakan alat yang memegang peranan yang cukup vital dalam pencapaian pengetahuan. Indera merupakan pintu gerbang dalam pencapaian pengetahuan dan akal yang akan memprosesnya lebih lanjut sehingga menjadi pola-pola pengetahuan. Konsep belajar untuk pencapaian pengetahuan yang kedua tersebut yang ada kesesuaiannya dengan konsep belajar menurutpandangan konstruktivisme, sedangkan konsep belajar untuk mencapai pengetahuan yang pertama konstruktivisme tidak memilikinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep belajar untuk pengembangan aspek pengetahuan (kognitif) saja ternyata sebenaranya konsep pendidikan Islam jangkauannya melebihi konsep konstruktivisme. Di samping sisi kesesuaiannya, terdapat pula perbedaan mendasar antara konstruktivisme dan pendidikan Islam. Kesesuaiannya terletak pada konsep dasar mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak hanya sebagai pemancar pengetahuan tetapi juga sebagai penyedia dan pemberi motivasi untuk lebih mengembangkan potensi anak dalam belajar.
Sedangkan perbedaan antara keduanya adalah bahwa dalam pandangan pendidikan Islam pengajar tidak hanya memfasilitasi untuk perkembangan aspek kognitif saja tetapi juga memfasilitasi perkembangan mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor.
Hal ini kemudian berimplikasi kepada tugas guru sebagai fasilitator dan motivator yang dalam pendidikan Islam guru juga harus memerankan diri sebagai model sebagai pataokan perilaku yang baik bagi peserta didik.
Oleh karena itu, menurut pandangan pendidikan Islam, guru atau pendidik dituntut untuk memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga benar-benar dapat dijadikan model (uswah hasanah) bagi para peserta didiknya.
EmoticonEmoticon